Regi duduk di tepi ranjang. Di depannya duduk Barra yang menyuapinya bubur ayam buatan sendiri. Kemeja light grey masih dikenakannya, hanya lengannya digulung hingga siku. Makan dengan kunyahan pelan karena masih mencerna semua perlakuan Barra padanya.
“Habis makan, nanti diminum kunyitnya. Hangat, kan? Biar di perut lebih enakan.” Barra berkata tanpa sedikit pun menurunkan tatapannya ke arah lain.
Regi hanya mengangguk patuh. Tidak berani membantah. Pun tadi ketika Barra sarapan, semuanya ia kerjakan sendiri; mulai dari mengoles roti, menyeduh kopi, dan menyantapnya di depan Regi. Plus semangkuk bubur ayam lengkap dengan toping bawang goreng dan suwiran ayam. Regi sendiri heran, bagaimana pria itu demikian telaten dalam hal di dapur.
Memang, sejak kali pertama melihat Barra di dapur, Regi sudah sangat yakin pria itu terampil sekali menggunakan semua alat dapur.
“Bapak dapat kunyit asam di mana?” tanya Regi setelah menelan suapa terakhirnya. Barra memaksa dengan sangat agar bubur buatanya habis dimakan Regi.
“Bobby yang bawain tadi.”
Ingat nama Bobby, seketika ingatan Regi mengulang ucapan Barra tentang pulang telatnya hari ini. “Bapak... enggak ke kantor?” tanya Regi hati-hati.
“Gimana saya bisa ke kantor kalau kamu sakit gitu,” dengkus Barra. Matanya mendelik tajam ke arah gadis yang sekarang malah manyun. “Sekarang mendingan?”
“Lumayan,” kata Regi sembari nyengir.
“Bilang saja kamu lapar.”
Regi makin manyun dibuatnya.
“Please, Regi. Jangan seperti itu. bibir kamu enggak ada seksi-seksinya. Saya serius.”
“Astaga, Bapak!!! Saya juga enggak mau tampil seksi di depan Bapak!” jerit Regi dengan segenap jiwa. Ia lupa kalau perutnya masih nyeri dan ketika teriak, darah yang keluar makin menderas. Sialan!!!
“Enggak seksi dari mana? Coba lihat penampilan kamu. Celana pendek, pakai kutang doang. Apa namanya kalau enggak seksi?”
Rasanya Regi ingin sekali menyumpal mulut Barra pakai selimut yang kini ia tarik dn menggelungnya hingga menyisakan leher. “Baju keroppi saya masih dicuci,” kata Regi manyun.
“Ya sudah. Saya ambilkan kunyitnya. Kamu istirahat saja.” Barra bangkit dan sedikit melirik ke arah Regi yang makin tenggelam di dalam selimutnya. Ia terkekeh kecil lalu melanjutkan kata-katanya, “Dasar merepotkan.”
“Saya juga enggak mau sakit gini, Pak.”
Regi pikir, gumanannya itu tidak didengar Barra karena Barra sudah melangkah agak menjauh. Makanya Regi berani berkata seperti itu. Ternyata dia salah. Barra berbalik dan berjalan kembali mendekat pada Regi. Ini membuat nyali Regi seketika ada di ambang titik nol.
“Cepat sembuh.” Barra dengan semena-mena mengecup puncak kepala Regi hingga membuat gadis itu membeliakkan mata. Kaget. Bingung. Aneh. Tidak terima. Semuanya. Bercampur jadi satu, mengaduk isi kepalanya dengan hebat. Pun perutnya yang makin nyeri.
Regi selesai mengetik beberapa pesan untuk pak Herman, juga Maudy, kalau hari ini ia ambil cuti dadakan karena menstruasi. Beruntung, atasannya mau mengerti dan memberi izin agar bisa beristirahat terlebih dahulu. Ketimbang Regi pingsan di tempat kerja seperti yang pernah terjadi dulu. Herman memilih tidak mengambil risiko lagi. Jadi balasan kalau mengizinkan Regi cuti adalah jawabannya.
Sementara dari Maudy, sahabatnya itu sudah heboh mau menjenguknya. Tapi jelas ditolak Regi. Kalau dirinya masih tinggal di kos, dengan senang hati Regi menerima kunjungan Maudy. Lumayan, untuk dimintai tolong beli ini dan itu. Sekalian, manja-manja bersama Maudy.
“Ini. Diminum dulu,” kata Barra dengan nampan berisi satu gelas kunyit asam. Regi benar-benar tak menyangka kalau Barra mau melakukan hal itu untuknya.
“Terima kasih, Pak.”
Regi menerima gelas itu dan segera meminumnya hingga tandas. Belum langsung terasa memang efeknya, namun rasa hangatnya cukup mengurangi sedikit nyeri yang ada. Regi menghela napas pelan.
“Istirahat, jangan malah main ponsel.”
Regi mengangguk saja. Tidak mau membantah. Hari ini, Barra sudah sangat baik hati merawatnya saat dalam keadaan terlemah dari seorang Bhregitta Ifandari. Rasanya, ia benar-benar ingin memberi sesuatu sebagai ucapan terima kasih.
Entah sudah berapa lama Regi terlelap dalam tidur. Yang kini ia rasa justru di perutnya ada yang mengusap pelan. Seolah usapan itu membuat nyeri yang mengaduk di dalam sana, lebih jinak ketimbang tidak ada usapan. Ia ingat, jika dalam keadaan seperti ini, Ambu yang akan mengusap perutnya hingga lebih baik. Seperti sekarang.
Tunggu. Ia sadar, dirinya tidak ada di rumah Ambu tapi di apartemen Barra. Jadi.... jadi siapa yang mengusap perut Regi?