Babu Boss

Siska Ambarwati
Chapter #38

Pagi yang Damai

“Morning, Pak,” sapa Regi dengan senyum yang sedikit canggung. Barra keluar dari kamarnya sudah rapi mengenakan kemeja. Diikuti Love yang bergelung manja di kaki Barra. Regi melirik sinis ke arah Love kali ini. Kucing itu manja sekali!

    “Kamu sudah sembuh?”

    “Sudah jauh lebih baik.” Regi mengulum senyum. Setidaknya, ada perhatian Barra di sana ketimbang Barra yang selalu perhatian dengan Love. Entah kenapa Regi tidak suka. Biarpun kemarin Barra benar-benar menyebalkan, tapi pria itu tak mengalihkan matanya dari Regi. Kali ini tidak. Barra segera menggendong Love dan menciumnya penuh sayang.

    Sialan Barra!!! Bibir yang kemarin menyapa bibirnya habis berciuman juga dengan Love? Astaga!!! Regi lupa kalau Love sering mendapat kecup sayang dari Barra.

    Tanpa sadar Regi menghentakkan kaki, kesal. Juga bibirnya yang mengerucut karena sebal.

    “Kamu kenapa?”

    “Enggak!”

    Sepertinya mode garang pada perempuan yang PMS itu sudah kembali pada Regi. Artinya, kemarin diri gadis bermata hitam itu kerasukan arwah lain dari PMS. Tapi Barra lebih menyukai Regi dalam mode seperti ini, sih. Ketimbang kemarin yang lemah tak berdaya. Barra sama sekali tidak suka.

    Diturunkannya Love dengan perlahan, lalu memberinya makan. Barunya ia menyusul Regi yang mulai memasak entah apa. Barra belum bertanya. Sebenarnya Barra tidak percaya sepenuhnya kalau Regi sembuh. Barra tidak percaya. Menurut artikel yang semalam ia baca, PMS yang menyerang perempuan bisa sampai hari ketiga. Makanya ketika melihat gadis berambut cokelat itu sudah berdiri di dapur, Barra yakin, ia masih menahan nyeri. Katanya juga, nyeri yang dihadapi perempuan mirip seperti orang melahirkan. Barra berjengit ngeri membayangkannya.

    Pantas saja Regi sampai pucat begitu. Ditambah seolah tidak ada daya sama sekali pun tidur dalam keadaan gelisah. Barra mana tega melihat perempuan kesakitan seperti itu. Di rumahnya, tidak ada saudara perempuan yang mengeluh sakit seperti itu. Hidupnya hanya berkisar ibunya dan sang ayah. Sudah. Pun di kantor, ia selalu bertemu dan berhubungan dengan Bobby. Mana tau ia mengenai hal sesensitif ini.

    “Kalau belum terlalu sembuh, jangan dipaksa.”

    Regi mengulum senyum. “Sudah, kok, Pak. Ini mau buatin bapak nasi goreng. Mau, kan?”

    Barra memilih menarik kursinya. Yah, sarapan seperti itu saja sudah membuat perut Barra keroncongan. Semalam, ia hanya minum jus yang beberapa minggu terakhir, dibuatkan oleh Regi. Entah kenapa rasanya berbeda. Padahal, Barra selalu cerewet masalah takaran. Seharusnya apa yang Barra buat sama dengan yang Regi buat juga, kan?

    Bagi Barra, jus semalam rasanya hambar.

    Mungkin kalau Barra minta dibuatkan jus untuk nanti malam, Regi mau membuatkannya.

    “Nanti berangkat bareng saya saja.” Barra menerima piring yang sudah Regi ambilkan bagiannya. Juga beberapa iris ketimun juga tomat. Tak lupa kerupuk udang karena itu pelengkap yang harus ada di meja makan.

    “Enggak. Sendiri aja. Nanti saya mau ada janji sama klien. Kemarin, kan, saya ngeba—”

    “Kalau saya bilang berangkat bareng saya, ya, bareng. Enggak perlu bantah.”

    Regi cemberut! “Bapak pemaksa banget, deh!”

    “Ya, saya enggak mau lah pesuruh saya tau-tau pingsan di kantor. Malah bikin saya repot. Selama kamu di sini, kamu di bawah tanggung jawab saya, lah.” Barra mendelik marah ke arah Regi.

    “Mana bisa begitu?!”

    Barra abai. Ia memilih menikmati pring nasi goreng bagiannya. Masih terdengar dengkus kesal juga geram dari bibir Regi namun Barra hanya menanggapi dengan mengedikkan bahu. Di artikel yang ia baca itu juga bilang, risiko pingsan wanita yang PMS itu juga besar. Terutama kalau dirinya dalam keadaan nyeri hebat. Barra ngeri, lah!

    “Kenapa enggak dimakan?” tanya Barra melihat gadis itu malah mengacak-acak piringnya tanpa menyuap sama sekali.

    “Malas!”

    Lalu Regi menghentakkan kaki. Masuk ke dalam kamar. Mood yang semula tinggi dan banyak rencana di siang hari untuk para kliennya, amblas tak bersisa untuk sekadar mem-follow up atau memikirkannya. Regi kesal sekali pada Barra yang seenaknya pada hidupnya.

    Kemarin, Barra seenaknya menicum. Oke lah kalau merawatnya selama sakit, Regi berterima kasih. Lah... ini?!!! Main cium anak orang tanpa permisi. Setelah mencium, Barra malah masuk ke kamar. Meninggalkan Regi yang bengong saking terkejutnya. Mau marah, Regi dalam hati merutuki diri. Ia menikmati adu saliva dengan Barra.

    Argh!!!

    Seragam yang tadi sudah ia kenakan, Regi lepaskan lagi. Berganti kaus oblong kebesarannya yang selalu nyaman ia kenakan. Pun rok sebatas lutut juga telah ia ganti menjadi celana pendek yang tenggelam di antara kausnya. Ia masih bisa beralasan cuti ketimbang mood yang sudah rusak ini dibawa hingga ke kantor. Bisa-bisa semua orang di lantai tiga kena sembur. Biarpun jarang sekali terjadi ketika tamu bulanan Regi datang, tapi entah kenapa, emosi sekali Regi kali ini.

    Rasanya mau garuk tembok tapi tak mungkin. Ia masih sayang pada kukunya yang cukup teratur dirawat.

Lihat selengkapnya