Babu Boss

Siska Ambarwati
Chapter #39

Mimpi makan malam dengan Regi

Regi mengerjap. Ketika tubuhnya seenaknya dipeluk Barra. “Bapak apa-apaan, sih?”

    “Kemarin kamu enggak protes. Kenapa sekarang protes?”

    Regi mendelik. “Jangan karena kemarin saya enggak protes. Jangankan untuk protes, untuk makan saja saya tuh ngumpulin tekad.” Ia mendorong Barra menjauh. “Minggir!!!”

    Lalu tawa Barra tersembur.

    “Galaknya kumat.”

    Regi menghentakkan kaki kesal. Bahkan pintu kamarnya sengaja ia tutup dengan keras, menimbulkan suara yang cukup ribut. Barra hanya terkekeh dibuatnya.

    Padahal tadi Barra hanya bermaksud menggodanya saja. Tidak benar-benar sungguh ingin berbuat jahat. Ia masih sangat memiliki batas. Melihat, menatap, dan memperhatikan Regi marah entah kenapa menjadi hiburan tersendiri baginya.

    Dalam setiap kali pekerjaan yang Regi lakukan, ia tak henti mengambil cokelat yang menjadi hadiahnya. Padahal Barra sudah beri peringatan, jangan terlalu banyak. Tapi Regi masa bodo. Bukan apa, tiap kali Regi mengunyah, juga sesekali menjilati bibirnya, pikiran Barra lari entah ke mana. Inginnya hanya ikut larut dalam bibir Regi. Tapi tidak mungkin.

    Barra masih mengingat dengan jelas ekspresi bodoh yang Regi tampilkan ketika ciuman mereka Barra akhiri. Ini bukan membuat Barra ingin segera menyudahinya sebenarnya. Malah justru Barra makin gemas ingin menjelajah lebih jauh. Tapi ia masih harus sangat menahannya.

    Ketimbang memikirkan Regi dan bibirnya, lebih baik Barra gunakan otaknya ke arah yang lain. Barra kembali sibuk dengan banyak laporan yang masuk. Bobby protes, kenapa dirinya tidak menghadiri meeting. Barra hanya berkata, ia memiliki urusan yang sangat penting. Mengurus Regi.

    Lama Barra berkutat pada layar laptopnya, hingga tanpa sadar jarum jam sudah menunjuk angka dua siang. Barra heran juga, tidak ada suara dari Regi sama sekali sejak ia menutup pintu. Pun teriakannya karena ada Love. Dihantui penasaran, akhirnya Barra pun keluar kamar.

    Ketika mendapati Regi yang bergelung di sofa, memeluk dirinya sendiri mungkin karena sejuk pendingin yang Regi nyalakan sudah terlalu menusuk kulitnya. Terang saja ia kedinginan. Hanya mengenakan pakaian seperti itu. Barra kesal akhirnya. Padahal mereka berdua belum makan siang. Tapi Barra merasa kenyang juga, sih.

    Regi dengan baik hati dan rela, tadi sewaktu masih bekerja menawarinya satu gelas jus. Pun berbagi beberapa keping cokelat. Mungkin nanti sore mereka akan makan. Begini ceritanya. Barra yakin seratus persen, dia yang akan memasak. Padahal Barra ingin sekali, mencoba makanan yang Regi buat. Biarpun rasanya kacau. Sekacau pikirannya.

    “Regi,” panggilnya pelan.

    Tak ada sahutan.

    “Regi, pindah ke dalam.”

    “Nanti, Ambu. Dramanya masih seru.”

    Barra hanya terkekeh. Pasti dalam pikir gadis itu, ia sedang menyaksikan drama yang suka ditontonnya. Dan merasa ini di rumahnya, persis seperti kemarin siang ketika Regi lebih banyak mengigau saat tidur. Dalam sekali gerak, Regi sudah ada dalam gendongannya. Parfum yang manis menyapa penciuman Barra. Sejak ia masuk ke kamar Regi, parfumnya selalu mendominasi. Tapi Barra suka. Entah kenapa. Biasanya, perempuan yang dekat dengan Barra selalu menggunakan parfum yang mencolok. Regi berbeda.

    Direbahkannya tubuh semampai itu perlahan. Membereskan kekacauan karena pekerjaannya yang banyak tersebar. Pun gadis itu. Saat menarik selimut untuk menutupi tubuh Regi, Barra tertegun.

    Wajah polos itu sungguh tanpa make up. Tidurnya lelap sekali, tanpa ada ringisan sakit. Begitu damai dan membuat Barra sama sekali tak tega mengusiknya. Ia lebih memilih menatap lekat-lekat wajah Regi tanpa bosan. Ketika perutnya keroncongan, akhirnya ia sudahi kegiatannya. Ia memilih memasak makanan yang simple saja. Dia pun yakin, ketika gadis itu membuka mata, lapar pasti melanda.

    Barra berkutat di dapur dengan senang hati. Kegiatan memasak memang selalu ia sukai sejak lama. Karena hal ini pula, ia memilih terjun membuka restoran yang kini cukup ternama di kota besar yang ada. Terutama Jakarta. Ketimbang mengurus usaha ayahnya, Barra lebih menekuni dunianya. Walau sesekali masih membantu karena dirinya anak tunggal Herdiyanto. Ia masih tidak tega jika semua yang nantinya akan berada di bawah kuasa Barra, malah jadi terbengkalai. Jadi ia menempatkan satu orang kepercayaannya, untuk nantinya mengurus usaha kuliner yang ia jalani.

    Sajian berupa tuna steak yang nantinya potato dan  akan disiram dengan sambal matah. Pun pelengkap berupa mashed sweet potato dan sauteed kale. Jangan lupa jus jeruk segar yang baru Barra buat ketika meliat stok jeruk yang lumayan banyak di kulkas. Hanya tinggal menyiapkan satu sajian lagi sebagai penutup. Puding mangga.

Baru saja Barra menuang puding dalam cetakan, Regi bangun. Wajah itu kusut dengan rambut acak-acakan. Mungkin dalam pikirannya ia memang berada di rumah. Barra ingin tertawa melihat bagaimana Regi yang serampangan berjalan ke arahnya.

“Kok, bapak ada di sini? Heran banget. Saya di rumah Ambu mau liburan sebentar aja enggak bisa,” gerutu Regi tanpa sadar.

Lihat selengkapnya