Regi ingin memaki Barra tapi mana bisa. Ia memilih duduk diam di kursi penumpang ketimbang harus mengikuti Barra menuju petshop langganannya itu. Regi yakin sepenuh hati, sebangsa dan sesuku dari Love banyak di sana. Regi tidak mau menambah daftar memalukan yang ia punya ketika bersama Barra.
“Regi, turun!” kata Barra dengan kata-kata cukup lantang. Pria yang nampak santai dengan polo shirt berwarna cream dan celana jeans hitam. Jangan lupa kacamata hitam sudah dipasang sempurna di wajahnya, menghalau terik matahari yang memang cukup menantang.
“Enggak mau! Saya takut.”
Barra menghela napas panjang. “Turun!”
Regi rasanya mau nangis saja.
“Saya di sini aja, deh. Bapak, kan, cuma mau antar Love? Saya enggak berani, Pak,” keluh Regi. Matanya sengaja menatap Barra dengan pandangan memelas. Berharap Barra tidak setega itu padanya.
Bukannya berhasil, Barra malah menarik Regi dari kursinya. Menutup pintu mobil dengan seenaknya, membuat debum yang cukup keras. Wajah Barra memerah. Mungkin marah. “Tinggal jalan aja, susah banget!”
Kalau bukan area ini area yang ramai, mungkin Regi sudah menangis karena selain takut, kenapa juga Barra tega dengan dirinya ini, sih? Apa salahnya? Tadi pagi, Regi sudah membuatkan sarapan salad sayuran permintaan Barra. Memang, Regi lupa menyeduh kopi kesukaan Barra, sih. Itu juga bukan sepenuhnya salah Regi. Barra memintanya untuk bersiap dengan cepat. Katanya biar tidak terlalu siang.
Tapi tetap saja. Mereka berangkat jam sepuluh dari apartemen. Ini karena Love yang lama sekali didandani Barra. Heran sekali Regi pada bosnya itu. Apa, sih Love bagi Barra? Ya Tuhan, Regi. Jangan lupa. Love itu anak kesayangan Barra. Belum lagi Barra mencatat semua keperluan Love yang harus dibeli.
Astaga!
Genggaman tangan Regi mengetat ketika melewati beberapa kandang berisi kucing lucu bin menggemaskan. Dia takut, kalau-kalau terlepas dan menerkamnya. Belum lagi suara mengeong yang ramai menyapa telinga Regi. Ide menangis sepertinya bagus mengingat Barra sama sekali tidak mengurangi kecepatan berjalannya. Bahkan melirik ke arah Regi yang ketakutan saja tidak.
Lalu Barra membawa regi pada satu sudut yang Regi rasa seperti taman kecil di dalam ruangan itu. Agak menjorok ke dalam, sih. Tapi setidaknya di sini sama sekali tidak ada kucing berkeliaran. Memang, di pet shop ini cukup besar menurut Regi. Seperti dua ruang dijadikan satu. Belum lagi bertingkat. Sepertinya memang berkelas. Tapi Regi mana mau peduli. Yang ia pedulikan, ia ingin segera keluar dari sini. Sekarang juga kalau bisa.
“Kamu tunggu sini. Jangan ke mana-mana.”
Regi berkaca-kaca.
“Astaga. Saya enggak jauh. Cuma mau bilang perawatan apa saja yang Love butuhkan.”
“Saya takut, Pak,” cicit Regi memelas. Lantas tanpa aba-aba ia mengambil lengan Barra dan mencekalnya cukup kencang. Ia tak peduli betapa Barra mengiris kesakitan atau jengah. Baginya, ia butuh tangan itu untuk berlindung. Ia sungguhan dalam hal ini. Tidak ingin berbohong sama sekali betapa takutnya Regi kalau-kalau ada kucing yang menghampirinya sekarang.
“Enggak. semuanya yang ada di sini dikurung. Kecuali kalau naik ke lantai atas.” Barra sedikit menunduk menyejajarkan tatapannya pada Regi yang masih belum ikhlas duduk di bangku yang ada. “Di atas, banyak kucing yang dibebaskan. Ada ruangan khususnya juga.”
Regi menggeleng. “Takut.”
Barra mengulum senyum. “Sebentar. Sepuluh menit. Kamu bisa lihat saya di sana.” Barra menunjuk meja yang ada di sudut kanan yang mengarah lebih ke dalam. Dari posisi Regi memang bisa terlihat jelas, tapi tetap saja ini menakutkan.
“Lima menit.”
Barra berdecak. “Oke, lima menit.”