Pohon rindang yang menaungi hampir seperempat gedung stasiun menyejukkan sekelompok orang mulai dari lalu lalangnya penumpang, ojek online, becak mau pun mini bus. Selena keluar dari mobil dan berlari memasuki pelataran stasiun, ia celingukan mencari seseorang. Matanya menangkap perempuan yang duduk di ruang tunggu sambil memasang ekspresi gelisah. Selena mencengkeram backpack erat-erat dan menghampiri temannya.
“Kirana!” Selena mengatur napas dan membungkuk memegang lutut. Keringat muncul di dahinya sambil melambaikan tangan sedangkan Kirana mencari siapa yang meneriaki namanya. Ia terperangah saat mengetahui Selena ada di antara banyaknya orang yang bergegas memasuki halaman stasiun. Kirana mengambil langkah cepat untuk sampai di posisi Selena.
“Lo kenapa sih?” Kirana menatap aneh temannya.
“Sorry, gue nggak telat kan?” Selena berdiri tegak dan mengikat ulang rambutnya. Kirana menggeleng, ia menyerahkan dua tiket yang sudah dicetak.
“Yuk, masuk. Kereta eksekutif sudah dipanggil lewat speaker barusan.” Kirana menggamit lengan Selena yang lemas akibat berlari dari ujung ke ujung.
Mereka memasuki ruang pemeriksaan untuk mengecek kelengkapan tiket dan KTP yang dibawa. Petugas kereta api menganggukkan kepala, mempersilakan keduanya menaiki gerbong. Dibantu dengan porter, Selena dan Kirana dapat menemukan tempat duduk yang sesuai dengan tiketnya. Selena memberikan uang seratus ribu dan menyuruhnya untuk menyimpan kembalian sebagai tips.
Mereka memesan tiket jalur eksekutif meskipun kampus mengatur dana perjalanan dinas mereka cukup murah serta memberikan list hotel serta transportasi di bawah standar mereka. Kirana dan Selena tidak ambil pusing jika harus keluar uang lebih banyak demi menyesuaikan kebiasaan keduanya. Bujet yang didapat dari kampus hanya cukup sebagai upah jajan selama di Jakarta.
Kirana dan Selena dipercaya untuk mewakili Universitas Wijaya mengikuti kompetisi accounting paper di Universitas Indonesia. Kirana yang terkenal pintar memang digadang-gadang dapat membawa kampus menuju akreditasi A dengan cara mempertahankan prestasinya. Tapi bagi Selena, gadis itu harus menyesuaikan kepintaran Kirana demi membuktikan mulut teman-temannya bahwa selain modeling dia memiliki otak yang berfungsi semestinya.
Selena menatap Kirana yang tertidur pulas menanggalkan earphone di telinga. Pelan-pelan ia mengambil benda itu dan meletakkan di pangkuan. Selena menggeleng sambil melirik beberapa petugas kereta api yang berlalu lalang menjajakan makanan. Ia menolak dengan halus saat petugas menawarinya makan, dia tidak suka dengan makanan yang dimasak instan karena akan membuatnya sakit perut.
Kereta yang dipesan keduanya terbilang cukup mahal namun cepat sampai tujuan. Meskipun begitu, Selena tak masalah karena tekadnya hanya ingin membawa pulang piala yang nanti didapatnya bersama Kirana. Teman satu kelas yang Selena paksa sebagai partner berkompetisi jika ada waktu tepat mengingat jadwal modeling-nya lumayan banyak. Sebelum memutuskan untuk mengikuti lomba, Kirana tidak yakin akan membawa Selena presentasi di depan juri dan menilai penampilan mereka kecuali Kirana yang sering memenangkan perlombaan. Entahlah, apakah kompetisi ini membawa peluang baru atau justru membawa petaka bagi Kirana.
Bangku yang berjejer masing-masing dua tempat duduk membuatnya cukup lega dari pada harus memesan jalur ekonomi. Di samping Selena terlihat seorang kakek yang duduk sendiri. Perjalanan kali ini akan memakan waktu tujuh jam dari Stasiun Pasar Turi Surabaya menuju Stasiun Pasar Senin, Jakarta Pusat.
Sudah empat jam perjalanan, Kirana masih tidur pulas. Selena memutuskan memasang earpod dan menekan playlist lagu favoritnya. Ia bersenandung kecil sambil membuka website pinterest, mencari inspirasi fashion selagi tujuan masih lama. Telinganya mendengar suara lain yang muncul dari earpod, ia memastikan bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik. Tepat di sampingnya, seorang kakek merintih kesakitan sambil memegang perut. Ia menatap cemas perilaku Kakek itu. Ragu-ragu, ia memberanikan diri untuk bertanya.
“Kakek kenapa?” Selena mulai mendekat.
“Oh, tidak papa.” Kakek tersentak karena tiba-tiba ada yang mendatangi. Di kursinya ada kotak makan yang terbuka, Selena memastikan bahwa makanan tersebut aman.
“Oh, ini nasinya bau ya, Kek? Sudah jangan dimakan.” Selena meletakkan kotak makan di bawah kursi, akan ia berikan nanti pada petugas untuk dibuang.
“Iya, Kakek juga baru tau kalau makanannya basi.” Si Kakek justru meringkuk seperti menahan sakit. Selena menyimpulkan apa yang terjadi dan bergerak mengambil bekal makanan yang ia bawa dari rumah. Ia memberikan kotak makannya ke tangan Kakek.
“Kek, ini dimakan ya. Jangan sampai sakit.” Selena membungkuk di sampingnya.
“Oh, tidak usah Nak. Saya bisa beli di gerbong makanan nanti.” Si Kakek menolak dengan halus.
“Jangan, Kek. Makanan instan nggak baik buat kesehatan Kakek. Sudah ya, ini untuk Kakek. Biar saya aja yang beli di gerbong makanan.” Selena memaksa si Kakek untuk mengambil kotak makannya. Sorot mata sang Kakek menyiratkan permohonan terima kasih.
“Baik kalau begitu, terima kasih ya Nak.” Si Kakek tersenyum sambil mencoba duduk tegap. Tangannya mulai membuka kotak makan dan melahap habis. Selena lega beliau tidak menolak lagi kali ini. Entah sejak kapan Kirana bangun, ia menatap Selena heran.
“Lo kok malah kasih makanan ke dia?” Kirana menggerakkan dagu. Selena membekap mulut Kirana dengan satu tangan, ia mengerutkan kening.
“Lo bisa pelan nggak sih kalau ngomong? Kalau Kakek dengar gimana? Nggak enak kan.” Selena menggeleng, ia mengambil jaketnya dan meletakkan di pangkuan.
“Lo kan nggak bisa makanan instan yang dijual di gerbong?” tanyanya dengan pasti.
“Gue kan bisa makan punya lo. Lo aja yang beli makanan di gerbong ya?” Selena tersenyum kecut sambil menyambar tas milik Kirana.
“Enak aja lo. Salah siapa makanan lo kasih ke orang.” Kirana mengambil balik tasnya.
“Kir, sekali aja deh ya. Serius gue nggak bisa makan makanan di gerbong atau pakai duit gue deh.” Selena memohon supaya Kirana mau menyerahkan bekalnya.
“Ya oke-oke. Gue beli sendiri aja. Nih ambil.” Kirana berdiri, meletakkan tasnya di bangku. Ia lantas pergi ke gerbong dua, tempat di mana segala macam makanan tersedia. Tak lama, gadis itu kembali membawa satu pop mie berukuran jumbo dan air mineral. Saat kemasannya dibuka, menimbulkan bau sedap yang membuat Selena tergiur.
“Andai gue bisa makan mie instan, langsung gue ambil tuh pop mie.” Selena menunjuk kemasan yang berbentuk lonjong di tangan Kirana, ia terlihat menikmati sambil sesekali menyuguhkan aroma yang membuat perutnya lapar. Selena mengambil bekal milik Kirana dan menyantapnya.
Tibalah di stasiun tujuan, seluruh pengunjung keluar bergantian dari gerbong kereta api. Waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB di mana Kirana dan Selena akan dijemput oleh panitia penyelenggara lomba dan diturunkan pada hotel yang sudah disiapkan. Kirana menelepon salah satu panitia untuk menginformasikan bahwa mereka sudah sampai.
Selena melihat dua orang laki-laki mengenakan id card tengah mencari-cari seseorang. Ia membaca nama Universitas Indonesia yang tersemat pada identitas tersebut. Selena menepuk pundak Kirana untuk menunjukkan bahwa dua lelaki itu merupakan panitia lomba.
“Oh, Kak!” teriak Kirana disusul oleh lambaian tangannya. Dua lelaki itu menoleh dan tersenyum lega karena berhasil menemukan kandidat lomba.
“Kak Selena dan Kak Kirana ya?” tanya salah satu panitia, ia membuka selembar kertas yang menunjukkan nama-nama peserta.
“Ya, benar.” Selena mengiyakan.
“Perkenalkan saya Robi.” Lelaki itu mengulurkan tangan.
“Oh, saya Rama.” Cowok di sampingnya juga ikut memperkenalkan diri. Selena dan Kirana bergantian menjabat tangan.
“Oke ikut kami ke mobil ya. Kami akan antar kalian ke hotel Jaya untuk bertemu dengan kandidat lain.” Lelaki itu menyuruh keduanya untuk ikut ke area parkir. Koper Selena dan Kirana dibawakan dengan baik oleh mereka. Ini pertama kalinya Selena memasuki dunia kompetisi bersama Kirana yang sudah hafal beberapa kali alurnya.
Mereka sampai di hotel Jaya dan mendapat kunci kamar di lantai enam. Lelaki itu mengantarnya di depan lift dan tidak ikut ke atas. Mereka memberikan informasi bahwasanya besok pagi akan dijemput menuju Universitas Indonesia untuk melangsungkan lomba.
Sesampainya di kamar, Kirana membuka buku dan membaca ulang materi yang akan dipresentasikan bersama Selena. Sesungguhnya ia tidak yakin Selena bisa menjadi partner yang baik untuknya. Semoga saja Selena bisa tampil baik di depan umum mengingat dirinya adalah seorang model. Tapi model kan tidak berbicara, ia hanya berjalan di atas catwalk. Public speaking yang dimiliki Selena pun tidak cukup baik darinya.
“Oh, Tuhan.” Kirana mengkhawatirkan tentang hari esok saat akan menerangkan materi di depan para juri. Selena keluar dari kamar mandi sambil tersenyum manis dan melambaikan tangan seakan tak tau apa-apa.
…
Keesokan harinya, sekitar sepuluh kandidat bergantian masuk ke mobil menuju Universitas Indonesia. Selena bersenandung kecil sambil melihat jalanan di daerah Depok. Kirana melipat bibir menyikapi tingkah laku Selena yang santai.
“Kir, lo nggak mau ketemu nyokap bokap lo di sini?” Selena melayangkan pertanyaan.
“Nggak dulu deh, gue malah bosan ketemu terus sama mereka. Hampir tiap Minggu nyokap bokap gue datang ke kos.” Kirana mengibaskan tangan.
“Oh, gitu,” timpal Selena.
Kirana merupakan anak tunggal yang menjatuhkan pilihan untuk berkuliah di Surabaya sedangkan Selena memutuskan pindah ke Surabaya semenjak Mamanya meninggal. Mereka bertemu lagi di Universitas yang sama dan berteman akrab sampai sekarang.
Seluruh peserta turun dengan tertib dan berjalan ke tempat yang sudah disiapkan. Para kandidat mengambil posisi di sisi danau kenanga dan berbaris rapi saat timnya dipanggil. Giliran Kirana dan Selena yang mendapat tanda pengenal untuk kesiapan presentasi. Selena tampak melamun sambil melihat Danau Kenanga yang nampak hening. Di ujung gedung bernama Balairung UI, tempat berbagai seremoni penerimaan mahasiswa dan wisuda dilaksanakan, ada perahu kecil yang sengaja disematkan pada jembatan. Sepertinya sudah tidak berfungsi sehingga perahu itu tak lagi beroperasi.
“Len, ayo masuk.” Kirana memanggil Selena yang melamun.