Seperti biasa Selena datang telat dari jam yang sudah ditentukan. Ia menekan tombol lift menuju ruangan program studi untuk menemui Pak Ardi. Sebelum masuk, ia menempelkan telinga ke pintu. Suara Kirana dan sang dosen tengah bercakap-cakap di dalam. Selena memutuskan untuk menunggu Kirana keluar dari pada harus masuk dan membuat mood-nya jelek karena ulahnya.
Selena tersentak saat Kirana tiba-tiba membuka pintu. Kirana juga sama kagetnya namun mereka masih bisa mengontrol agar tak bersuara. Ia menarik tangan Kirana menjauhi ruangan Pak Ardi.
“Gimana katanya, Kir? Lo kena marah?” Selena cukup was-was.
“Nggak lah. Kenapa harus marah juga. Katanya gini, ya tidak papa. Namanya juga kompetisi ya harus ada yang menang dan kalah. Jadikan ini sebagai pembelajaran buat kalian berdua, apalagi Selena. Gitu aja sih.” Kirana mengedikkan bahu, keduanya berjalan menuju lift.
“Kok bawa nama gue? Maksudnya gimana?” tanya Selena ingin tau.
“Ya nggak papa, kan itu artinya lo disuruh belajar lebih giat lagi.” Kirana menekan angka satu dan otomatis pintu lift tertutup. Selena memalingkan muka, tak ingin membahas persoalan lomba.
“Oh ya, gimana si Kakek itu?” Kirana mengubah topik pembicaraan.
“Dia belum telepon.” Selena memandangi layar ponselnya.
“Hah? Bentar deh. Lo kasih nomor telepon lo ke dia?” Kirana membelalak melihat tingkah laku Selena yang sembrono. Gadis itu mengangguk kecil.
“Lo nggak takut Kakek itu punya niat jahat sama lo? Lo nggak khawatir bakal diculik suatu saat?” Mereka berada di depan gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Selena merasa ucapan temannya terlalu berlebihan.
“Lo kebanyakan nonton sinetron!” Selena memukul dahi Kirana dan berlalu meninggalkannya.
“Aw!” Kirana refleks memegang dahi.
“Dasar kurang ajar!” umpatnya. Kirana menuruni tangga kecil dan melangkah ke area parkir mobil. Ia sudah ditunggu supir untuk bergegas pulang sedangkan Selena menaiki taksi untuk menemui Sarah di Tunjungan Plaza.
…
Laki-laki itu berdiri menatap rumah megah yang sudah ramai orang. Ia melihat bendera kuning tersemat di atas pagar. Matanya melirik kanan dan kiri memastikan bahwa ia berada di depan rumah. Pak Sudjak datang sambil menepuk pelan pundaknya.
“Mas, ayo kita sama-sama lihat ke dalam.” Pak Sudjak memegang lengannya siapa tau ia akan limbung terjerembab ke tanah. Mereka melihat jenazah yang tertutup kain putih di ruang tamu, beberapa orang mengelilinginya seakan tak terima bahwa beliau sudah pergi jauh. Laki-laki itu menghampiri Papanya yang meringkuk menangisi jenazah. Ia menunduk, tak kuasa mendengar jeritan dari bibir sang Papa. Bingkai foto yang sengaja dipajang meluluhlantakkan hatinya. Padahal ia ingin mengabulkan permintaannya hari ini, tapi semua sudah terlambat. Apa gunanya memberitahukan informasi pada seseorang.
Ezhar merogoh ponsel di saku celana, ia memutuskan untuk menghubunginya di kamar. Sejenak ia menimang-nimang apa untungnya jika harus memberikan informasi tersebut. Tanpa membuang-buang waktu, Ezhar memencet kontak seorang perempuan dan mendengar nada dering tersambung di sana.
“Halo?” ucapnya lirih.
“Halo?” jawab seorang perempuan.
“Apa benar saya berbicara dengan Selena Anandara?” Ezhar mengintip dari tirai jendela, banyak sekali orang memasuki halaman rumahnya.
“Benar, ini siapa ya?” Nadanya menaruh rasa curiga.
“Apakah tempo hari anda bertemu dengan Kakek Ridwan?” tanya Ezhar memastikan.
“Ah, iya. Apa saya bisa bertemu dengannya? Saya ada janji untuk menemuinya lagi.” Rasa senang itu membuat hati Ezhar teriris. Andai saja bisa, akan ia bawa Kakek Ridwan bertemu dengannya.
“Saya cucu dari Kakek Ridwan. Maaf, sore ini Kakek saya telah tiada dan akan dimakamkan sekarang.” Susah payah Ezhar mengatakan tapi tidak ada jawaban di seberang. Hening.
“Kalau ada waktu, sore ini bisa datang rumah untuk mengikuti pengajian. Maaf kalau Kakek saya tidak bisa memenuhi janji itu.” Ia merasa bersalah telah memberitahukan kebenarannya.
“Innalillahi. Baik, di mana lokasinya?” tanyanya dengan suara parau. Ezhar menyebutkan nama perumahan yang terbilang elit di kawasan Surabaya. Setelah membereskan perihal yang mengganggu pikirannya ia kembali untuk bertemu sanak saudara yang sudah berkumpul lengkap. Jenazah Ridwan Andipura akan dikebumikan sore ini dan Ezhar akan ikut mengiringi kepergian sang Kakek.
Sekuat tenaga Ezhar menahan tangis saat peti mati itu terkubur tanah. Ia melihat sang Papa berusaha kuat untuk tetap berdiri melihat gundukan tanah yang terpasang nisan Ridwan Andipura. Ezhar merangkul Papanya supaya tidak kehilangan kesadaran. Beberapa orang ikut mendoakan sembari menabur bunga. Ezhar membaca surah yasin dan duduk di tanah tak mempedulikan bagaimana pakaiannya. Keningnya penuh keringat, tangannya menengadah memohon ampun atas kesalahan yang pernah terjadi selama hidup.
Ezhar kembali ke rumah dan segera membersihkan diri. Keluarga mereka membuka pengajian terbuka dan mempersilakan siapa saja untuk ikut bergabung mendoakan Ridwan Andipura. Banyak kolega dan pengusaha penting dari teman Papanya yang datang mengucapkan bela sungkawa. Sampai suatu ketika ada perempuan tak dikenal memasuki pelataran rumah Ezhar dengan raut wajah kebingungan.
“Permisi, Mbak. Mau bertemu siapa?” tanya Pak Sudjak saat melihat perempuan keluar dari taksi lantas berjalan dengan hati-hati.
“Oh, saya mau ikut pengajiannya Kakek Ridwan, Pak.” balasnya sambil menutup separuh wajah dengan pashmina yang ia sematkan.
“Monggo silakan masuk, Mbak.” Lelaki paruh baya itu menunjukkan jalan dan menyuruhnya berkumpul bersama yang lain. Selena mengedarkan pandangan, ia berdecak kagum karena rumah Almarhum Kakek Ridwan sangat besar dan mewah berbeda dengan perumahan kecil yang ditempati Selena.
Sesudah pengajian, Selena memandang foto Ridwan Andipura yang sengaja diletakkan di tengah-tengah ruang tamu. Tangannya membelai tepat di wajah sang Kakek. Selena tidak menyesal bertemu dengannya meskipun sebentar. Ia berdiri cukup lama hingga Akhmad Wijaya menghampiri perempuan yang tidak familiar untuknya.