Baby Blue

Melia
Chapter #3

BAB 3

Seluruh takdir baik atau buruk akan terjadi pada setiap insan, mereka akan menantikan sebuah kejadian besar yang membuat manusia bergetar hebat, entah terpaksa berubah atau menerima jalannya sesuai dengan yang diberikan. Begitu pula dengan yang dialami Selena Anandara enam bulan ke depan. Gadis itu mau tak mau wajib melakukan penelitian skripsi di sebuah kantor yang artinya dari bulan Oktober hingga April ini akan dihabiskan Selena bersamaan dengan karir modelnya. Musim kemarau baru saja berakhir dan akan digantikan dengan musim hujan yang disukai Selena. Baunya, airnya hingga suasananya sangat menyejukkan hati Selena yang selalu mendung seperti awan hitam. Musim yang selama ini ia nantikan akan muncul mencerahkan harinya. Ia tak memiliki kenangan apapun terhadap musim hujan. Tapi ia menyukainya begitu saja, tanpa sebab dan alasan.

Minggu siang ini jadwal Selena melakukan runway fashion baju adat di Grand City. Selena menaiki taksi dan bergegas menuju lokasi. Kali ini ia tidak datang terlambat, bahkan terlalu dini sehingga Sarah yang biasanya on time justru tertinggal jauh dari Selena. Gadis itu mendesah dan duduk di kursi backstage. Tak lama Sarah datang sambil mengusap peluh di dahi. Bukan takut terlambat, tapi ia hanya kelelahan berlari bila saja Selena belum datang.

“Gimana? Macet kan weekend?” tanya Selena polos. Sarah tak menggubris ucapannya, ia berjalan ke ruang kostum dan mengambil busana yang akan dipakai Selena.

“Satu jam lagi acara dimulai. Kita siap-siap ganti baju dulu. Oke?” Sarah meletakkan tas di kursi lantas menyuruhnya ganti baju. Selena menekuni baju adat Yogyakarta yaitu pinjung dengan corak bergaris-garis warna cokelat untuk ia tampilkan di khalayak. Pagelaran ini bertujuan untuk mengenalkan baju adat di depan anak-anak SD supaya penghafalan mereka akan kebudayaan tertanam di pikiran. Acaranya diselenggarakan langsung oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sehingga membuat jalan raya makin padat karena megahnya event yang berlangsung.

Selena tampak mempesona memakai riasan tebal dan rambut disanggul, ia berlenggak-lenggok di atas panggung sambil membentuk pose memukau. Riuh tepuk tangan benar-benar terdengar kencang saat beberapa orang mengenal Selena di stage. Selena tersenyum simpul sebagai bentuk penghormatan telah mengenalinya. Selena bertemu Sarah kembali di belakang panggung, keduanya melakukan gerakan high five bahwa pekerjaannya berjalan sukses.

Dibantu Sarah dan wardrobe, mereka melepas pernak-pernik yang melekat di tubuh Selena. Sebagai gantinya, ia mengambil ponsel ketika penata rias membersihkan make up. Ada satu pesan dari Kirana yang belum ia baca.

Len, lo sudah dapat judul skripsi yang bagus?

Selena memicingkan mata melihat tulisan yang amat tak ingin dibacanya. Ia mematikan ponsel dan tidak membalas pesan Kirana. Ia tak ingin pikirannya digeluti berbagai hal yang membuatnya pening. Selena menatap dirinya di cermin, perempuan itu sudah dewasa berbeda ketika sang Mama meninggalkan dirinya di umur belia. Kalau dipikir-pikir lagi ucapan Sarah kala itu memang benar. Ia sering izin karena urusan modeling dengan memakai alasan Mamanya sakit atau lebih parahnya lagi sang Mama meninggal. Awalnya saat Sarah memberikan solusi itu, Selena sedikit keberatan. Tapi bagaimana lagi, ini semua ia lakukan supaya karirnya menjulang tinggi.

Pagar rumah Akhmad Wijaya terbuka lebar, beberapa tamu masih berdatangan sekedar mengucapkan bela sungkawa. Ezhar berdiam diri di balkon kamar sambil melihat orang-orang yang mulai menjauh dari kediaman. Weekend ini tidak Ezhar habiskan dengan kegiatan apapun selain melayani tamu dari Papanya. Setelahnya mereka akan mengerumuni Ezhar dan melayangkan pertanyaan memuakkan seperti sudah punya calon atau belum. Ia hanya membalasnya dengan senyum manis yang terukir di bibir.

Lelaki itu menikmati senja yang sebentar lagi muncul dari atas balkon. Ezhar melipat kedua tangan di dada sambil menghitung mundur. Bibirnya pelan-pelan tersenyum sembari mendongak.

“Ezhar.” Akhmad memanggil putranya di ambang pintu.

 “Iya, Pa?” Lelaki itu refleks menjawab. Akhmad berjalan menghampiri sambil menyimpan kedua tangan di saku celana.

“Senin depan kita kedatangan mahasiswi yang akan melakukan penelitian di kantor. Papa kan sudah tua, Nak. Tolong kamu saja yang kontrol dia ya. Lagi pula Papa sudah tak ingat apa pun tentang skripsi.” Akhmad memegang pundak Ezhar lembut dan berdiri di sisinya. Mereka menatap jalanan yang rutin disapu petugas kebersihan.

“Mulai Senin, Pa?” Ezhar terlihat keberatan mengingat pekerjaannya cukup banyak. Terlebih tidak pernah ada mahasiswi yang magang atau melakukan penelitian di KAP Akhmad Wijaya.

“Iya, Pak Ardi yang meminta langsung sama Papa. Kamu masih ingat kan, teman Papa yang jadi dosen Akuntansi di Universitas Wijaya itu.” Akhmad menambahkan informasi lebih lengkap.

“Berapa orang, Pa?” Alisnya bertaut hampir sejajar.

“Satu orang aja, Zhar. Tadi Pak Ardi sempat bilang namanya. Siapa ya, kok Papa jadi lupa.” Akhmad tertawa renyah.

“Oh, ya. Lena. Namanya Selena.” Akhmad berusaha mengingat nama yang sudah diucapkan beberapa kali saat bertelepon dengan temannya. Ezhar mendelik lantas memalingkan muka, ia tak berpikir ada suatu kebetulan yang terjadi. Ia tidak bisa menerka apa yang nanti dihadang di depan matanya setelah Kakek Ridwan meninggal dunia.

Selena berhenti tepat di sebuah kantor bertuliskan KAP Akhmad Wijaya, matanya menyusuri sebuah rumah mewah yang sudah dialihfungsikan menjadi kantor. Sejak perjalanan menuju lokasi itu, Selena cukup ragu karena memasuki kawasan perumahan elit di Surabaya. Ia pikir ojek yang dipesannya salah jalan, ternyata tidak. Memang benar alamat yang diberikan Pak Ardi sesuai dengan nama kantor tersebut.

Selena membuka pagar besar dan masuk dengan langkah kecil. Tangannya memegang erat shoulder bag yang berisi laptop, charger, alat make up dan ponsel. Ia melihat sebuah bel di atas pintu namun tangannya tidak cukup meraih benda tersebut. Selena merutuki tingkahnya, sebagai seorang model harusnya tinggi badannya sudah cukup untuk menggapai bel.

Selena memegang pintu dengan satu tangan lantas tangan lainnya berupaya memegang bel dengan sapu ijuk. Akhirnya lonceng itu berbunyi juga, ia tersenyum senang sambil mengusap kedua tangan. Tak lama seorang lelaki paruh baya muncul dari balik pintu.

“Oh, ada yang bisa saya bantu?” Pak Sudjak tersenyum ramah. Selena seperti pernah melihat lelaki itu sebelumnya.

“Oh, saya mahasiswi Universitas Wijaya yang akan melakukan penelitian skripsi, Pak.” Selena mengangguk pelan, mengumpulkan rasa percaya diri.

“Ah, iya saya tau. Mbak Selena bukan?” Pak Sudjak menebak-nebak.

“Iya benar. Kok Bapak tau?” tanyanya penasaran.

“Nama saya Sudjak. Kalau mau panggil saya jangan lupa pakai, Pak. Oke?” Pak Sudjak mengulurkan satu tangan yang langsung disambut baik oleh Selena.

“Kita langsung masuk ke ruangan Mas Ezhar yuk!” Pak Sudjak menyuruh Selena mengikuti langkahnya. Gadis itu berdecak kagum karena kantor bernuansa baby blue tersebut memiliki ruang tamu layaknya rumah keluarga. Terdiri dari satu lantai dan ditiap ruangan terbuka ada meja kubikal yang hanya tersekat pembatas plastik. Pada ruang tertutup tertuliskan divisi Tax and Acc Manager, Audit Manager, dan HRD & GA Manager. Semua mata terpana saat Selena melewati ruangan terbuka yang diisi oleh staf biasa dan supervisor. Karyawan di sana bisa dihitung dengan jari, mungkin sekitar lima belas orang totalnya. Kantor tersebut bergerak di pelayanan jasa yang mengaudit laporan keuangan milik lembaga. Selena dan Pak Sudjak berhenti di depan ruangan Managing Partner, sebuah jabatan yang digadang-gadang memiliki kedudukan tinggi di Kantor Akuntan Publik.

Pak Sudjak mengetuk pintu cukup keras. Keduanya masih berada di ambang pintu saat terdengar suara Ezhar menggema di dalam. Mereka menyimpulkan bahwa suara tersebut sebagai tanda boleh masuk.

“Pagi, Mas Ezhar.” Pak Sudjak berjalan santai lantas menutup pintu kembali. Ezhar belum memandangnya, ia masih fokus menandatangani banyak berkas.

“Mas, ini ada tamu.” Pak Sudjak berdeham kecil sambil tersenyum.

“Oh iya suruh duduk dulu.” Ezhar sama sekali tak berminat melihat kedatangan Selena. Gadis itu menatap Pak Sudjak dan Ezhar bergantian, ia kebingungan sekarang.

“Ya sudah, kamu duduk aja di sini sampai Mas Ezhar selesai. Saya tinggal dulu ya,” bisiknya lantas membimbing Selena duduk di kursi.

“Makasih banyak ya, Pak.” Selena menatap kepergian Pak Sudjak. Ia melihat Ezhar masih berkutik dengan pena dan kertas di atas meja. Selena mendesah lirih sambil mengeluarkan ponsel.

Lihat selengkapnya