Ezhar tak memiliki kerjaan lain selain lari malam keliling komplek. Suatu kebiasaan yang sudah dibangunnya sejak di bangku kuliah. Laki-laki itu tak ada hobi untuk meluangkan waktu setelah bekerja sepanjang hari. Bahkan fisiknya sudah dipersiapkan untuk menggantikan sang Papa nanti di KAP Akhmad Wijaya. Meskipun empat tahun ini menyibukkan diri di kantor, Ezhar tak merasa bosan atau pun kesepian.
Ia berhenti berlari saat mengingat nama Selena Anandara. Ezhar masih tak paham apa yang membuat Kakek Ridwan harus menghubunginya. Namun yang ia tau Kakeknya merasakan bahwa gadis itu berjiwa hangat. Ezhar menatap sang Papa yang tengah menantikan kepulangannya. Beliau berkacak pinggang melihat putranya memasuki halaman.
“Lama sekali kamu ini, Nak.” Akhmad menepuk pundak Ezhar beberapa kali.
“Papa kenapa berdiri di sini?” Ezhar mengusap keringatnya.
“Ya lagi tunggu kamu lah, masa tunggu Pak Sudjak.” Akhmad tertawa membimbing Ezhar masuk.
“Pa, waktu hari pengajian Kakek Minggu lalu. Papa ingat sama perempuan yang lagi berdiri di sini nggak?” tanya Ezhar basa-basi, ia menunjuk ruang tamunya yang luas.
“Hm, sebentar. Papa agak lupa, Zhar.” Akhmad berusaha mengingat.
“Papa dan perempuan itu lagi ngobrol di sini.” Tangannya menunjuk tempat yang mereka pijak.
“Oh ya ingat, dia pakai pakaian warna hitam terus selendangnya cuma dilampirkan di rambut?” Akhmad memegang dagu dengan satu tangan.
“Ah, ya.” Ezhar menjentikkan jari.
“Kenapa memangnya, Zhar?” tanya Akhmad lebih lanjut.
“Dia yang sekarang ada di kantor kita.” Ezhar mengulas senyum.
“Oh ya, Nak?” Akhmad nampak serius mendengar.
“Dia temanmu, Nak? Tapi sebentar, sejak kapan kamu punya teman yang tidak seumuran denganmu?” Akhmad menatap curiga putranya.
“Dia bukan teman Ezhar, Pa. Ezhar bahkan tidak kenal sebelum ia datang ke kantor kita.” Ezhar memalingkan muka, menahan senyumnya.
“Papa juga tidak kenal sama dia, apa dia kenal secara pribadi dengan Kakekmu, Zhar?” Akhmad lantas melipat kedua tangan di dada berusaha menebak-nebak alurnya sedangkan Ezhar mengerti arti kebetulan yang datang kepadanya.
…
Selena memutar otak supaya bisa mengatur ulang jadwalnya dan menelepon Sarah untuk memulai kesepakatan baru. Ia mencoret-coret konsep di kertas supaya jadwal modelnya tidak berantakan. Ia meletakkan ponsel di atas meja dan me-loudspeaker panggilan.
“Iya, Len. Kenapa?” ucap Sarah di seberang.
“Ada yang harus kita bicarain, Sar.” Selena menimang-nimang ucapannya.
“Ada apa? Kalau mau ngomong tinggal ngomong dong, Len.” Sarah tertawa di akhir kalimat.
“Kayaknya enam bulan ini gue cuma bisa ambil job di hari Sabtu sama Minggu doang. Weekday dipastikan nggak bakal bisa sih.” Selena mengerjap beberapa kali, semoga keputusan ini bisa diterima manajernya.
“Kan, berulah lagi. Sesekali lo boleh lah bolos kayak biasanya. Kenapa harus setakut itu sih.” Sarah berdecak kesal.
“Nggak bisa, Sar. Mas Ezhar sudah wanti-wanti ke gue. Nggak akan ada izin kalau menyangkut modeling di hari kerja.” Selena mencoba menjelaskan situasinya.
“Emangnya kalau weekday tapi malam, tetap nggak bisa?” Sarah bernegosiasi.
“Gue usahain ya, itu pun kalau gue nggak disuruh lembur tiba-tiba.” Selena menekan dahi beberapa kali.
“Oke, sebentar gue ambil catatan di ipad dulu.” Ada suara gemuruh seperti membuka laci dengan sembarangan.
“Ya, bulan ini lo harus rela kehilangan lima job karena kebanyakan diadakan weekday dan itu bertepatan dengan jam kerja. Lo siap ya gue cancel?” Sarah memperingatkan dengan malas-malasan.
“Mau gimana lagi, bukan kemauan gue juga.” Selena pasrah, ia menundukkan wajah.
“Lo kenapa sih nggak berjuang, malah jadi kayak gini hanya gara-gara masuk di KAP?” Sarah jadi kesal sendiri.
“Gue juga bingung. Di satu sisi gue harus selesain skripsi dan ini pun karena bantuan dosen gue.” Selena mengingat pertemuan terakhirnya di ruang prodi bersama Pak Ardi.
“Nama baik lo sekarang dipertaruhkan karena lo tiba-tiba berkelakuan kayak gini.” Sarah menjadi naik pitam.
“Ya sudah nggak papa, kalau masih rezeki gue nggak bakal ke mana kok.” Selena berlapang dada atas keputusannya.
“Oke, kalau gitu. Gue turuti kemauan lo selama enam bulan ke depan.” Panggilannya dimatikan sepihak oleh Sarah. Ia pasti tak terima, begitu juga dengan Selena. Gadis itu berusaha mengambil jalan tengah untuk tetap dikarirnya sembari menyelesaikan akademis. Selena memejamkan mata sejenak sebelum beranjak ke tempat tidur. Ia sudah bertekad menyelesaikan sarjana dan fokus ke dunia model setelah lulus.
…
Selena datang ke KAP lebih awal sebelum para staf termasuk Mas Ezhar ada di sana. Ia membuat teh hangat di dapur. Ditemani oleh Pak Sudjak mereka cukup akrab meskipun baru beberapa hari.
“Halo Lena cantik, mau bikin teh ya pasti?” Pak Sudjak melihat teh celup terletak di gelas. Selena mencari sesuatu di rak.
“Eh, Bapak. Iya, Pak.” Selena tersenyum dan tetap mengacak-acak beberapa bahan di sana.
“Cari gula, Nduk?” Pak Sudjak mengambil gula di laci kiri.
“Ah ya, makasih Pak.” Berkat Pak Sudjak ia berhasil membuat teh hangat dengan cepat. Selena tidak beranjak, ia duduk di meja makan sambil mengaduk pelan gelasnya. Mereka bercengkerama seperti biasa, menanyakan hal-hal seperti tinggal di mana, kuliah di mana, punya pacar atau belum.
“Saya belum ada pacar, Pak.” Selena menyeruput tehnya.
“Ah masa sih, Selena kan cantik pasti banyak yang suka deh sama Selena.” Pak Sudjak ikut menemaninya duduk.
“Saya rasa kita pernah bertemu ya, Pak?” Ia tiba-tiba menebak.