Ezhar menyiapkan berkas-berkas yang akan dibawanya ke luar kota. Kali ini ia akan pergi ke Lampung sebagai tempat audit selanjutnya. Ia bersiap mengoreksi laporan keuangan milik Universitas Bandar Lampung. Ezhar hanya ditemani oleh Anton dan Hanung sebagai partner kerjanya. Tiket yang sudah dipesan memiliki jadwal pukul 09.00 WIB, mereka diharuskan pergi ke tempat yang sudah disediakan instansi yaitu Hotel Citrarena. Mereka akan stay di Lampung selama seminggu dan membiarkan anak buahnya di KAP tanpa pengawasan siapa pun. Dapat dipastikan para staf lebih leluasa ketika bosnya tak di tempat.
Saat mendengar kabar itu Selena nampak gembira, ia tersenyum ketika Indri juga mengetahui isi pikirannya. Terbesit satu ide yang membuat Indri nekat.
“Len, gimana kalau kita bikin rujak manis?” Ia menjentikkan jari.
“Ah, ayo, Mbak. Aku pengin deh.” Gadis itu menyetujui usulan Indri.
“Tapi kita kan belum beli buah. Eh apa minta tolong Pak Sudjak aja?” Indri berdiri dan mulai berjalan ke dapur. Anton keluar dari ruangan Ezhar lalu menghampiri Selena yang masih mengulas senyum.
“Dipanggil Mas Ezhar tuh.” Anton menggerakkan dagu.
“Ada apa, Mas? Kira-kira kabar baik apa buruk?” tanyanya cemas.
“Hmmm, buruk kayaknya.” Anton berlalu dari meja Selena. Gadis itu bermalas-malasan untuk mencapai pintu ruang managing partner.
“Mas Ezhar panggil saya?” Selena masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu.
“Saya akan ke Bandar Lampung hari ini dan pulang Minggu depan. Saya mau kamu setiap hari memberikan progress skripsi lewat email.” Ezhar menunjuk-nunjuk Selena dengan pulpen.
“Terus?” Selena masih tak mengerti.
“Terus kerjakan revisinya hari itu juga jika ada perbaikan dari saya.” Ezhar mendongak menatapnya.
“Baik, Mas.” Selena mengangguk. Tak ada lagi suara yang keluar dari mulut Ezhar, Selena jadi kikuk.
“Mas, sudah itu aja?” Ia ragu-ragu bertanya.
“Hm…” Tiba-tiba bayangan saat bertemu di pemakaman muncul di benak Ezhar.
“Iya?” tanya Selena.
“Sudah nggak ada.” Ezhar menggeleng dan menyuruhnya keluar. Indri melihatnya dengan tatapan takut bila saja ada sesuatu yang terjadi di ruangan Ezhar.
“Aman, Mbak.” Selena mengacungkan jempol.
“Kita manfaatkan waktu luang ini tanpa Mas Ezhar. Hahahaha.” Indri tertawa namun ditutupnya dengan satu tangan.
Ezhar keluar dari ruangan dan memanggil Hanung serta Anton di meja kerja kubikal. Selena melihat momen itu saat ketiganya mulai berjalan keluar. Dari balik jendela bisa dilihat bahwa Pak Sudjak mengantar mereka ke bandara. Selena masih menatap sosok Ezhar yang meletakkan koper di bagasi. Entah kenapa senyumnya mengembang, matanya masih tertuju pada laki-laki itu hingga mobil meninggalkan KAP Akhmad Wijaya.
Ketika Pak Sudjak kembali, beliau membawa buah-buahan yang sudah dipesan Indri. Jam istirahat akan terasa cukup panjang bagi para staf jika Ezhar tidak ada di lokasi.
“Wah, ada acara apa nih?” celetuk Pak Sudjak yang melihat Indri mengupas buah nanas begitu pun dengan Selena yang mencari wadah di rak.
“Ayo, Pak. Panggil yang lain, kita makan rujak ramai-ramai ya.” Tangannya terkibas di udara, ia nampak bersemangat.
“Oalah, sebentar-sebentar.” Pak Sudjak kembali ke dalam dan mengajak seluruh karyawan. Situasi baru bagi Selena yang hampir tidak pernah merasakan momen bersama dengan teman-temannya. Ia selalu fokus dengan karirnya sebagai model.
“Ini enak banget, Len.” Indri mengunyah buah apel sambil mencomot bumbu rujak.
“Iya, Mbak. Aku suka, kapan-kapan kita bikin rujak lagi yuk,” ajaknya. Pak Sudjak tertawa dan ikut berdiri di samping Selena. Tangannya terulur ke saku celana, mengeluarkan ponsel lantas membuat video itu untuk ia simpan. Pak Sudjak juga mengirimkan video tersebut ke kontak Ezhar yang menyuruhnya memantau kondisi KAP Akhmad Wijaya.
Ezhar baru saja sampai di hotel Citrarena saat ponselnya berdenting. Pak Sudjak mengirimkan sebuah video yang memperlihatkan para staf sedang makan rujak di dapur. Semua orang nampak tersenyum senang di depan kamera. Keputusan Ezhar untuk meninggalkan Selena di kantor adalah hal salah. Ia lantas memesan dua tiket dan mengambil jadwal keberangkatan besok hari. Ezhar menekan tombol call menunggu seseorang mengangkat panggilannya.
…
Affandi menatap putrinya dari sofa ruang tamu, Selena nampak berjalan lemas. Mereka bertukar pandang, gadis itu menghampiri Papanya sambil menunduk. Wajahnya pucat karena merasa dunianya mulai berubah.
“Lho kenapa kamu ini, Nak?” Affandi memegang pipinya lembut.
“Selena besok harus ke Lampung, Pa. Ada tugas dinas di sana. Papa pasti nggak setuju kan Lena pergi sejauh itu?” Ia berharap Affandi tidak memberikan izin.
“Hm, tergantung. Itu satu kewajiban atau liburan? Kalau liburan Papa nggak setuju.” Papanya memberikan pilihan yang membuatnya bingung.
“Di Lampung nanti, Lena mengerjakan skripsi sekaligus kerja, Pa.” Ia terlihat pasrah.
“Apakah skripsi sebuah prioritas, sayang?” Affandi mencium keningnya pelan.
“Lena sudah terlambat lulus kuliah, Pa. Ini satu-satunya jalan supaya Selena bisa wisuda tahun depan.” Gadis itu mendongak menatap sang Papa.
“Jadi?”