Ezhar melihat beberapa foto yang dikirim Anton. Tapi begitu ia memperbesar gambarnya, terlihat Ezhar sedang memandangi Selena lekat-lekat. Ezhar tertangkap basah. Ia membiarkan foto itu dan berganti memeriksa foto lain.
Di ujung ruang tamu, Akhmad melihat putranya tersenyum manis menatap ponsel. Ia berjalan pelan menghampiri Ezhar.
“Lihat apa, Zhar?” Akhmad sontak mengintip.
“Oh, lagi lihat foto-foto waktu kemarin di Lampung,” jelasnya.
“Mahasiswi waktu itu gimana, Zhar? Aman?” tanya Akhmad sambil memegang dagu.
“Aman, Pa. Kemarin dia ikut ke Lampung sama yang lain.” Ezhar tersenyum kecut, ia sedikit malu-malu.
“Oh, ada fotonya nggak? Siapa kemarin namanya, Papa jadi lupa.” Akhmad mengingat-ingat, ia sama sekali belum bertemu dengan perempuan itu.
“Selena,” jelasnya.
“Ah, ya. Papa jadi ingat. Kapan-kapan Papa akan berkunjung ke kantor untuk melihat progresnya.” Akhmad berlalu sambil memegang kepala putranya. Ezhar menatap kepergian Akhmad yang menghilang dari pandangan.
…
Hari demi hari berlalu dan Selena tetap merevisi apapun yang disuruh Ezhar. Tiap kertas yang dicoret Ezhar membuat gadis itu menggeleng. Sekarang kertasnya berhamburan memenuhi meja. Ia membereskan dan melipat satu persatu lantas membuangnya ke tempat sampah. Jarang sekali Ezhar memberikan tanda tangan jika ia setuju dengan pengerjaan skripsinya. Ezhar tak mau memberitahukan apa alasannya sehingga tulisan Selena salah. Laki-laki itu hanya memberikan garis berwarna merah supaya Selena merevisi apa yang tidak sesuai.
Ia memegang kepala dengan satu tangan, pusing tiba-tiba melanda. Indri memegang tangannya, menguatkan Selena.
“Mas Ezhar itu emang harus perfeksionis dalam hal pekerjaan, Len. Tapi meskipun begitu, dia punya hati baik.” Indri menyemangati gadis itu.
“Semua orang punya hati yang baik, Mbak. Cuma gimana caranya kita mau menerima kekurangannya aja.” Selena menatap kertas-kertas yang dibuangnya.
“Ya itu kamu tau. Nggak masalah kan menerima kekurangan Mas Ezhar?” Indri tersenyum. Selena mencoba memahami maksud pembicaraannya.
“Kalau kamu bisa ikuti kemauan dia tanpa mengeluh, itu cukup lebih baik buat kamu sendiri, Len.” Lagi-lagi Indri serius menuturkan apa yang menjadi kesengsaraan Selena.
“Iya, Mbak.” Selena tersenyum.
“Semangat ya supaya wisudanya bisa tahun depan.” Indri mengangkat satu tangan membuat Lena menahan tawa.
…
Minggu pagi jadwalnya Selena melakukan sesi pemotretan di Bali bersama artis dan influencer lain. Bersama Sarah, semua barang-barang pribadinya terlihat lengkap. Selena mengetuk-ngetukkan jari ke dagu, seperti ada yang terlupa. Gadis itu mengambil laptop di laci dan memasukkannya ke koper.
“Buat apa lo bawa laptop?” Sarah mendongak saat ia memberi ceklis pada catatannya
“Jaga-jaga aja, gue belum izin sama bos gue tentang rencana job ini. Kita di Bali tiga hari kan, Sar?” Selena mengemas pakaian.
“Gila lo belum ngomong ke dia? Lo mau dihukum? Konsekuensinya lo bisa diaduin sama dosen gimana?” Sarah pura-pura khawatir untuk mengecohnya.
“Santai aja, nanti gue tinggal telepon dan bilang gue belum bisa pulang.” Selena tak ingin ambil pusing.
“Dia masih ganteng kan, Len?” Sarah mendekatkan tubuhnya. Dari nada bicaranya seakan-akan Sarah telah mengenal Ezhar sebelumnya. Ia memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan itu dan menyibukkan diri dengan barang-barangnya.
Selena pamit pada Affandi dan mencium kedua pipinya. Ia sudah membawa obat-obatan sesuai dengan suruhan sang Papa jika saja tiba-tiba sakit. Begitu pun dengan Sarah, gadis itu mencium punggung tangan Affandi dan meminta izin untuk membawa putrinya ke Bali. Keduanya menaiki taksi menuju bandara.
Di perjalanan, Selena justru merasa bersalah pada Ezhar. Entah kenapa ia jadi gelisah sebab tidak memberitahukan kepergiannya. Sarah menyuruhnya untuk fokus.
“Len, tiga hari ini lo bakal kerja bareng Karina Wijayanto, artis senior. Lo tau kan dia siapa?” tanya Sarah.
“Artis senior, kan?” jawabnya singkat.