Pagi yang cerah membuat Ezhar biasa saja menjalani hari-harinya. Belum ada semangat dan motivasi yang membuatnya tersenyum sepanjang hari. Ia menyelesaikan sarapan bersama Akhmad di meja makan. Beliau memperhatikan putranya yang tampak berbeda.
“Potong rambut, Nak?” tebak Akhmad.
“Iya, Pa.” Ezhar menyuapkan satu sendok ke mulut.
“Tumben, untuk diperlihatkan ke siapa?” tebaknya.
“Bukan begitu, Pa. Emang nggak cocok ya?” Laki-laki itu tersenyum simpul.
“Cocok, Nak.” Akhmad menyeruput teh hangat.
“Oh, ya Ezhar. Siang ini rencananya Papa mau ke kantor. Sekalian tengok mahasiswa itu.” Akhmad mengulas senyum. Ezhar tak tau harus bereaksi apa, ia hanya menganggukkan kepala.
Selesai makan, Ezhar pergi menuju KAP Akhmad Wijaya. Di sana Pak Sudjak sedang menyapu halaman ketika mobil memasuki area parkir. “Eh, Mas Ezhar. Itu Mbak Selena barusan datang juga.” Pak Sudjak membukakan pintu utama untuknya.
“Terima kasih, Pak.” Laki-laki itu mengangguk.
Di meja kerja kubikal beberapa karyawan sedang berkumpul jadi satu. Ezhar tak tau apa yang terjadi. Ia memicingkan mata dan menghampiri apa yang menyebabkan satu meja dikerubungi. Selena tengah membagikan beberapa oleh-oleh pada staf. Ezhar menelan ludah melihat kejadian itu. Ketika matanya bertemu tatap, Selena menyuruh karyawan kembali ke tempat masing-masing, termasuk Selena yang mulai menyalakan komputer. Ekor matanya memperlihatkan bahwa Ezhar melaluinya begitu saja.
Indri senang sebab Selena memberikan tas anyaman berwarna cokelat muda yang lagi populer. Ia berterima kasih dan memeluk Selena erat.
“Sama-sama Mbak Indri.” Selena membenarkan rambutnya.
Telepon di samping Indri berdering membuatnya harus mengangkat panggilan dengan malas. Matanya mendelik lalu mengangguk pelan. Indri meletakkan gagang telepon kembali.
“Len, kamu dipanggil Mas Ezhar sekarang.” Indri takut Selena akan ditanya macam-macam.
“Oh, oke Mbak.” Selena berdiri sambil mengambil paperbag khusus untuk diberikan pada Ezhar. Gadis itu membuka pelan pintu bertuliskan managing partner.
“Mas Ezhar, ini ada oleh-oleh dari saya. Pia Bali. Saya letakkan di meja ya.” Selena tersenyum sambil memberikan paperbag itu.
“Kalau saya nggak mau terima?” elaknya. Selena merubah ekspresi senangnya menjadi sedih.
“Oh, kenapa? Mas Ezhar nggak suka pia bali ya?” tanyanya kemudian. Ezhar tidak menjawab, ia beranjak dari kursi dan menatap tajam gadis di depannya.
“Saya menyetujui bab satu yang sudah kamu kerjakan kemarin. Sekarang saya mau kamu lanjut mengerjakan bab dua dan diharuskan selesai hari ini juga.” Ezhar melipat tangan di dada.
“Baik, Mas.” Selena membalikkan badan hendak keluar.
“Mau ke mana?” tanya Ezhar lagi.
“Kan tadi katanya…”
“Kerjakan di sini.” Ezhar menunjuk kursi di sampingnya.
“Tapi kan komputernya ada di sana, Mas.” Selena masih tak mengerti kemauan Ezhar.
“Pindahkan semua pekerjaanmu ke flashdisk lalu gunakan laptop ini.” Ezhar mengambil laptop pribadi miliknya yang ia letakkan di meja.
“Iya, Mas. Saya pindahkan dulu file-nya.” Selena berjalan lemas.
Saat kembali ke ruangan Ezhar, wajahnya tidak seceria pagi tadi. Dua meja yang terjejer rapi dan saling bertautan membuatnya mengerutkan kening. Ia menarik satu kursi di samping Ezhar dan duduk agak berjauhan. Lelaki itu melirik sekilas menatap sikap Selena. Paperbag darinya sudah diletakkan di bawah meja. Selena tertegun melihat barang itu disimpan baik olehnya.
Gadis itu mencolokkan flashdisk ke laptop. Selena berkonsentrasi penuh dengan benda di depannya sedangkan Ezhar membuka pia Bali darinya. Lelaki itu membuka satu persatu kemasannya dan melahap habis.
“Katanya nggak mau terima tapi habis juga,” gumamnya pelan dari balik layar laptop. Ezhar mendengar meskipun suara bicaranya kecil.
“Kalau mau ambil,” suruhnya.
“Nggak, Mas. Di rumah masih banyak,” tolaknya lembut.
“Oke.” Ezhar mengedikkan bahu.
Selena membuka buku modeling-nya, ia membalas pesan Sarah dan mengiyakan ajakannya di weekend. Ia menuliskan mulai dari nama acara, jam dan juga tema runway fashion di buku tersebut.
Selena mengembalikan fokus pada skripsinya. Ia mulai terbebani dengan penelitian yang dilakukan. Tangannya mengarah ke kursor dan menekan tombol back berkali-kali.
“Kenapa nggak ketemu-ketemu ya,” gumamnya.
“Kenapa?” Laki-laki itu berjalan ke meja Selena dan membungkuk menatap layar laptop.
“Saya bingung cari jurnal di mana lagi untuk mendukung penelitian, Mas.” Selena menyerah begitu saja.
“Kamu bisa cari di google scholar, semua lengkap di sana.” Ezhar memencet keyboard dan menekan tombol enter.
“Coba sekarang kamu cari yang sesuai dengan judul penelitianmu.” Ezhar melirik catatan di sisi laptop. Jadwal modeling milik Selena tertera di meja.
Pintu tiba-tiba terbuka memunculkan Akhmad Wijaya yang hadir di antara momen Selena dan Ezhar. Keduanya sontak menoleh ke ambang pintu. Selena ganti menatap Ezhar yang masih membungkuk dan membuat jarak di antara mereka kian dekat.
“Oh, sorry.” Ezhar berdiri tegap sambil menghampiri Papanya. Selena ikut berdiri dan berusaha mengingat seorang laki-laki yang baru saja masuk. Akhmad menyipitkan mata, ia berjalan pelan menuju meja Selena.
“Siang, Pak.” Selena mencium punggung tangan Akhmad dan tersenyum.
“Siang. Kamu Selena ya?” tanya beliau.
“Iya, Pak.” Gadis itu mengangguk pelan.