Tiga hari sudah Selena selalu mengerjakan skripsi di tempat Ezhar. Harinya benar-benar membosankan ditambah lelaki itu tak memiliki respons yang baik. Terlebih tidak ada hal lain yang harus dikerjakannya esok. Weekend-nya pasti sangat memuakkan. Apa ia pergi ke salon aja, batinnya.
“Kamu kerjakan bab tiga. Tau kan isinya apa aja?” Ezhar melontarkan pertanyaan.
“Metode penelitian yang terdiri dari waktu dan lokasi penelitian, jenis dan pendekatan, objek dan subjek penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, pengabsahan data, analisis data, sistematika penulisan dan kendala penelitian.” Ia menyebut satu-persatu sambil menghitung jari.
“Cerdas.” Ezhar tersenyum, gadis itu tertegun melihatnya.
“Kalau dikurangi jadi dua gitu apa bisa, Mas?” tawarnya.
“Silakan kalau tidak ingin lulus.” Ezhar menatap Selena heran.
“Oh nggak jadi kalau gitu.” Ia tersenyum kecut dan mengembalikan fokus di depan laptop.
Ia membaca ulang skripsi milik lelaki itu dan mulai memahami pelan-pelan. Kepalanya mengangguk beberapa kali sebagai tanda mengerti. Selena melirik Ezhar sebelum menekan tombol keyboard.
“Saya keluar dulu, kalau ada yang telepon bilang saja ada urusan mendadak yang tidak bisa diganggu.” Ezhar menatap jam dinding.
“Sekarang masih jam sembilan, sebelum istirahat saya sudah kembali.” Ezhar mengambil ponsel dan kunci mobil. Ia berlalu meninggalkan Selena yang belum sempat menjawab. Gadis itu mengedarkan pandangan, ia tertarik pada satu rak buku besar di sudut ruangan. Ia melihat koleksi bukunya.
“Kenapa nggak ada majalah fashion?” gumamnya. Ia menyusuri satu persatu buku tersebut.
“Seleranya benar-benar rendah. Ia memang kutu buku sejati, pasti dia mahasiswa terpintar pada zamannya.” Selena kembali ke kursi. Ia melihat beberapa file di laptop Ezhar. Ada satu yang membuatnya penasaran. Ia membuka isi file berjudul a memories. Di sana terdapat kumpulan foto pribadi yang disimpan rapat-rapat oleh sang pemilik. Selena tersenyum, ia serasa menemukan harta karun. Tangannya menekan tombol selanjutnya saat beberapa foto berhasil dibuka.
Selena berhenti pada satu foto. Ia tak percaya sampai-sampai mengangkat laptop ke depan wajah. Pikirannya tak karuan, ia mencerna apa yang terjadi. Layar itu menampilkan sebuah foto kenangan antara Ezhar dan seorang perempuan. Mereka tersenyum ke kamera layaknya kekasih. Tapi apa mungkin, pikirnya.
Hampir tiga jam lamanya, Ezhar masuk ke ruang managing partner lagi bersama Akhmad Wijaya. Selena tersadar dari lamunan, ia berdiri dan menyapa Akhmad ramah. Selena mendengar arahan Akhmad yang menyuruhnya berbelanja keperluan kantor bersama Ezhar. Entah apa yang ada di pikiran Selena, apakah Akhmad sengaja menjodohkannya dengan Ezhar. Ini bukan jobdesk-nya, sejak awal ia harus dibimbing melakukan penelitian skripsi bukan malah berbelanja berdua bersama putranya. Selena hendak melayangkan protes tapi Akhmad menjelaskan sekali lagi.
“Sekaligus antarkan titipan Papa ke rumah Pak Ardi ya. Dosennya Selena.” Akhmad tersenyum ke arah gadis itu.
“Selena, kamu sudah lama tidak bimbingan ke Pak Ardi kan?” Akhmad mendekat padanya.
“Belum sama sekali, Pak.” Selena membenarkan.
“Oke, nanti biar Ezhar yang antarkan Selena ke sana ya.” Akhmad tersenyum lantas meninggalkan keduanya. Selena menatap Ezhar serius.
“Apa harus hari Sabtu, Mas? Kan Mas Ezhar bilang sendiri kalau weekend itu hak libur saya. Kenapa sekarang….”
“Ada jadwal modeling Sabtu besok?” Ezhar memotong pembicaraan Selena.
“Nggak ada sih,” jawabnya singkat.
“Ya sudah. Besok saya jemput ke rumah.” Selena mau tak mau harus mengikutinya apalagi permintaan langsung dari Akhmad Wijaya. Ia mengerucutkan bibir dan kembali ke kursi. Selena menutup riwayat yang sempat dibukanya, tampilan foto Ezhar dengan seseorang yang Selena kenal.
…
Sarah menunggu kepulangan Selena sejak tadi, ia masih betah bermain ponsel saat pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar. Selena langsung merebahkan diri ke tempat tidur. Ia menatap langit-langit kamar. Jam dinding menunjukkan pukul 21.00 WIB.
“Gila, gue betah banget lembur hari ini.” Selena menatap Sarah yang memperhatikannya sejak tadi.
“Di luar lagi hujan, lo naik taksi?” tanya Sarah malas-malasan.
“Nggak, gue diantar bos gue,” sungutnya.
“Hah?” Sontak Sarah mendekatkan tubuhnya.
“Apa? Gue nggak salah dengar?” Sarah menatap tajam Selena.
“Iya, gue diantar bos gue.” Sarah tiba-tiba terdiam. Selena makin curiga padanya.
“Oh iya, Sar. Lo kenapa datang ke sini?” Selena mengubah topik pembicaraan.
“Gue mau pinjam heels lo yang warna merah muda dong, mau gue pakai ke kondangan.” Sarah beralasan supaya Selena mau meminjamkan barangnya.
“Oh, itu ambil aja di rak khusus.” Selena menunjuk rak di bawah meja belajar.
“Oke deh.” Sarah bergegas mengambilnya.
“Sar, lo nggak kepikiran buat punya pacar apa?” Selena selonjoran di atas kasur.
“Kenapa lo tiba-tiba tanya gitu. Apa tampang gue ini nggak laku banget?” sewotnya.
“Nggak gitu, ya mungkin aja lo punya pacar terus lo nggak bilang sama gue.” Selena ganti memeluk kedua kakinya.
“Nggak mungkinlah, orang pertama yang bakal gue kasih tau adalah lo. Tapi Len, sepadat itu jadwal lo apa bisa gue punya waktu buat pacaran?” Sarah membalikkan pertanyaan.
“Ya mungkin ada yang lagi lo taksir gitu.” Selena menyerah menanyakan hal yang mengganjal hatinya.