Selena keluar dari kamar melihat siapa gerangan. Ia menatapnya dari ujung kaki hingga kepala. “Mas Ezhar? Ada apa?” tanyanya curiga. Selena sudah bersiap akan tidur tapi terpaksa membuka pintu karena banyaknya ketukan yang terngiang sejak tadi.
“Ikut saya sebentar.” Ezhar menggerakkan kepala mengikuti langkahnya.
“Sebentar, Mas. Aku ambil sandal dulu.” Indri nampak tertidur pulas, tangannya mengambil parfum lalu menyemprotkan ke baju. Ia berlari mengejar Ezhar yang meninggalkannya lebih dulu. Lelaki itu menahan tombol lift sembari menunggu Selena masuk.
“Kita mau ke mana, Mas?” Ezhar tidak menjawab pertanyaan Selena. Ia lantas mengerucutkan bibir.
Keduanya memasuki mobil dan melenggang jauh dari hotel. Ezhar membawanya ke sebuah alun-alun kota. Di sana banyak berjajar pedagang kaki lima. Selena tersenyum dan menghampiri Ezhar di sisi mobil.
“Oh jadi Mas Ezhar ajak aku makan malam gitu?” Selena merasa percaya diri.
“Emang kamu belum makan malam?” Ezhar menoleh, ia mencium aroma wewangian dari tubuh Selena. Ia menggeleng sambil menahan tawa.
“Sudah sih, tapi lapar lagi.” Gadis itu terkekeh dan mulai mencari makanan favoritnya. Ezhar menuntun di belakang, ia ikut tersenyum saat Selena menunjuk gerobak yang diletakkan di atas sepeda motor. Selena membeli sepuluh telur gulung yang dibalut mi. Ia juga membeli jus tomat yang baik untuk kesehatan kulit.
“Mas Ezhar mau jus apa? Aku traktir deh!” Selena memberanikan diri.
“Hmmm, jus alpukat aja.” Ezhar nampak berpikir sebelum mengambil keputusan.
“Kak, tambah alpukat satu ya.” Selena menoleh pada si penjual. Lelaki itu menawari Selena ketoprak. Keduanya melahap habis dan sesekali bersenda gurau. Ezhar diam-diam memperhatikan gadis di sampingnya, ia merasa senang bisa mengajaknya ke sini. Terakhir Selena menjatuhkan pilihan untuk membeli pempek sebagai camilan di hotel nanti.
Mereka duduk sejenak sambil menatap langit biru yang gelap. Ezhar menyandarkan tangan ke belakang untuk menopang tubuh sedangkan Selena duduk tegap di sisinya. Ia menoleh ke arah Ezhar.
“Mas, makasih ya sudah ajak aku ke sini.” Selena menerawang jauh, ia tak bisa menyembunyikan rasa senang.
“Hmmm.” Ezhar tetap pada pendiriannya.
“Oh ya, Mas Ezhar tau nggak. Waktu aku ngobrol sama Kakek Ridwan, beliau sempat bilang kalau nanti aku mau dikenalkan sama cucunya.” Selena teringat ucapan beliau.
“Tapi aku nggak tau ada berapa jumlah cucu Kakek,” lanjutnya sambil terkekeh.
“Cucu Kakek cuma satu.” Ezhar menatapnya.
Selena mendongak, ia tertegun dengan ucapan Ezhar. Itu berarti niat Kakek Ridwan menjodohkannya dengan Ezhar memang betul adanya. Ezhar tiba-tiba berdiri sambil membawakan makanan Selena.
“Sudah?” Tatapannya menjurus, gadis itu hanya menganggukkan kepala. Sepertinya Ezhar tak ingin membahas tentang Kakek Ridwan. Selena memaklumi jika laki-laki itu masih berduka. Mereka berjalan beriringan ke area parkir mobil.
Sesampainya di depan hotel, Selena melepas seat belt dan hendak keluar dari mobil. “Lena.” Ezhar menahannya sejenak.
“Ya?” Selena menoleh dan menunggu Ezhar berbicara. Gadis itu senang jika Ezhar memanggil namanya.
“Waktu skripsi kamu tinggal dua bulan lagi. Setelah dari KAP Akhmad Wijaya kamu berencana akan melakukan apa?” Ezhar ikut melepas seat belt dan menghindari kontak mata dengannya.
“Hmmm, nggak ke mana-mana sih. Mungkin serius modeling aja.” Selena nampak berpikir.
“Memangnya kenapa, Mas?” Selena penasaran mengapa Ezhar menanyakan hal pribadi.
“Nggak papa, tolong pikirkan saran saya untuk ganti manajer.” Ezhar keluar lebih dulu meninggalkan Selena yang termenung di mobil. Gadis itu memikirkan matang-matang keputusannya. Ada sebab lain mengapa Ezhar menyuruh Sarah tidak lagi menjadi bagiannya. Selena mengambil tas dan mengejar langkah lelaki itu.
…
Keesokan harinya, Indri bangun lebih awal. Dia keheranan melihat pempek tersaji di atas meja. Dia memikirkan apa yang dilakukan Selena semalam.
“Perasaan aku sama Lena nggak beli apa-apa deh.” Indri menoleh pada gadis yang masih tertidur pulas. Matanya melihat jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Indri tersentak dan langsung terjun ke tempat tidur.
“Len, bangun! Ini sudah siang! Katanya mau ada catwalk di PIM?” Indri berteriak tepat di telinga Selena. Gadis itu bangun sambil mengamati sekeliling. Gorden yang terbuka membuatnya membelalak akibat pantulan sinar matahari.
“Ya ampun Mbak. Ini masih jam delapan lho. Kan acaranya nanti malam.” Selena tidur kembali sambil menutup selimut.
“Tapi kamu sudah terlanjur bilang Mas Ezhar berangkat pagi kan?” Indri takut Selena salah ucap. Gadis itu tiba-tiba tersadar dan melompat dari kasur. Selena pergi ke kamar mandi untuk siap-siap.
“MBAK INDRI KALAU MAU SARAPAN, PERGI AJA DULU. AKU MAU BELI BUBUR DI SAMPING HOTEL,” teriak Selena dari dalam kamar mandi.
“OKE DEH!” Indri menyetujui usulan itu. Pempek di atas meja sudah dilahapnya diam-diam tanpa sepengetahuan Selena.
Selesai mandi, Selena mengambil dompet dan ponsel. Tas jinjing yang penuh dengan peralatan catwalk nanti malam sudah disiapkan. Ia tersenyum sambil membawa cardlock keluar. Selena bersenandung kecil menuju lift dan berjalan ke samping hotel. Ia sudah memperhatikan gerobak bubur sejak kedatangannya di sini. Selena memesan bubur ayam pada si penjual.
“Bang, makan sini ya.” Selena mengambil kursi plastik.
“Oke, non.” Abang penjual itu melirik sekilas dan segera membuatkan pesanan.
“Bukan orang asli sini ya, Non?” tanya si penjual.
“Bukan, Mas!” Ezhar sudah berada di belakang, Selena mendongak dan memperhatikan Ezhar bersiap duduk di sampingnya.
“Mas Ezhar?” Selena mencari tau ada apa gerangan.
“Mas, satu ya.” Ezhar melayangkan telunjuk lalu menoleh pada gadis itu.
“Iya?” Ezhar menahan tawa.
“Mas Ezhar tumben.” Selena mengambil mangkuk dari abang tukang bubur.
“Lagi lari pagi aja.” Ezhar juga menerima mangkuknya.
“Oh gitu.” Selena mengangguk lantas melahap habis buburnya. Ezhar tertegun saat bubur Selena sudah bersih tak tersisa. Ia cepat-cepat memakan bubur dan meletakkan mangkuk di bawah gerobak. Selena hendak membayar namun dicegah Ezhar. Lelaki itu mengeluarkan dompet dan memberikan satu lembar lima puluh ribu kepada si penjual.
“Makasih banyak, Mas. Tapi aku punya uang kok.” Selena tak enak mengingat kemarin Ezhar telah membelikannya banyak makanan. Lelaki itu hanya tersenyum lantas membuang muka.
“Kalian ini serasi.” Si penjual tiba-tiba melontarkan kalimat yang membuat keduanya canggung. Selena melirik kanan dan kiri, ia segera pergi dari sana sedangkan Ezhar mengacungkan jempol pada si penjual.
…
Indri tersentak saat Selena membuka pintu kamar dengan keras. Ia sama kagetnya ketika Indri nampak duduk membelakangi.
“Kamu ke mana aja Len. Aku sudah telepon tapi nggak diangkat.” Indri melayangkan ponsel. Selena ikut menatap ponsel di tangan. Benar saja ada lima panggilan tak terjawab dari Indri.
“Oh, maaf. Nada deringnya aku nonaktifkan, Mbak.” Selena terlihat salah tingkah. Ia mengangkat tas jinjingnya keluar kamar.
“Yuk, Mbak kita berangkat sekarang aja.” Selena memegang gagang pintu, tangannya menekan layar ponsel. Ia memesan kendaraan online sebelum Ezhar memergoki dirinya pergi.
“Kenapa sekarang jadi buru-buru sih, Len. Sebentar.” Indri mengambil barang pribadinya dengan tergesa-gesa.
“Buruan, Mbak.” Selena berada di depan kamar menunggu Indri memilih alat make up. Dari arah berlawanan Ezhar menghampiri Selena yang berada di koridor. Ia mengambil tas jinjing yang dibawa Selena lantas berjalan ke arah lift.
“Mas Ezhar?” Selena tersentak karena lelaki itu muncul sambil menarik tas.
“Biar aku aja yang bawa sendiri.” Ia menarik tasnya namun tidak bisa.
“Sudah saya aja.” Ezhar tak mau kalah.
“Mas ini kan tas aku. Nggak papa biar aku bawa aja.” Selena tak ingin mengalah. Ezhar melepas tasnya membuat Selena terhuyung. Ia jatuh sambil memegang tas yang lumayan berat. Ezhar tidak membantunya, ia hanya mengambil tas dan menekan tombol lift. Indri yang melihat mereka sedang berebutan tak berani mendekat. Nekatnya tiba-tiba ciut, ia berjalan pelan sambil memastikan Selena baik-baik saja.
“Ayo mau ke bawah apa nggak?” Ezhar menawari kedua perempuan itu. Selena mengerucutkan bibir sambil mengusap kakinya yang kotor. Dia tak ingin bicara dengan Ezhar. Selepas sampai di pelataran hotel, Selena menunggu mobil datang. Ketiga orang itu tak berkomunikasi satu sama lain. Mereka hanya duduk sambil sesekali menarik napas panjang.
“Mas Ezhar bisa masuk aja nggak?” Selena kesal dan menyuruhnya pergi dari tempat.
“Saya?” Ezhar menunjuk dirinya sendiri. Gadis itu mengangguk pasti.
“Nggak bisa, saya lagi cari udara segar di sini.” Ezhar membuang muka. Ia melakukan peregangan badan sambil menguap. Selena sudah kehabisan kata-kata, gadis itu mendekat dan menatap tepat mata Ezhar. Lelaki itu ikut dalam permainannya. Indri mengedipkan mata ketika momen itu terlihat jelas di hadapan.
Suara klakson mobil terdengar beberapa kali membuat mereka menoleh. “Len, itu mobil yang kamu pesan sudah datang.” Indri menunjuk sambil berjalan menghampiri.
“Ah, iya.” Selena menarik tas jinjingnya yang masih di bawa Ezhar.
“Hati-hati.” Ezhar menyimpan kedua tangan di saku. Selena melambaikan tangan ketika berada di dalam mobil. Ezhar membalasnya cepat.
“Ini pertama kalinya Mas Ezhar berkelakuan aneh.” Indri menatap Selena yang senyum-senyum sendiri. Dia tidak mengindahkan pernyataan tersebut, sebagai gantinya Selena memainkan ponsel untuk menutupi salah tingkah.
…
Indri berjalan bersama Selena di hotel Kampuong Bestari. Ia mengedarkan arah pandang, keningnya berkerut mencari petunjuk.
“Len kenapa kita pindah hotel?” tanya Indri penasaran.
“Nggak, kita nggak pindah hotel. Kebetulan manajer aku booking hotel di sini.” Selena membimbing Indri. Ia mengetuk salah satu pintu kamar yang diyakini ada Sarah di dalamnya.
“Sarah! Ini gue, Lena!” Gadis itu mengetuk pintu berkali-kali. Indri terbelalak, ia mendengar logat Jakarta yang muncul dari suara Selena. Tak lama pintu dibuka menampilkan Sarah yang sudah berbusana rapi.
“Lena! Gue kangen banget sama lo!” Ia memeluk Selena kencang hingga membuatnya sesak napas.
“Sar, lepas! Gue nggak bisa napas!” Selena menghela napas panjang, keduanya lantas masuk ke dalam kamar.