Selena berlari dari halaman fakultas menuju lantai tujuh menemui Pak Ardi, ketua prodi Akuntansi. Selesai mencetak skripsinya, ia meyakinkan diri bahwa tulisannya wajib diapresiasi. Benar saja, kali ini beliau tidak menolak. Pak Ardi memberikan izin untuk Selena sidang skripsi di hadapan para penguji. Setelah Ezhar memberikan libur satu Minggu dan berkonsentrasi pada kelulusannya, Selena menghabiskan waktu untuk membuat power point presentasi yang akan diuji di ruang sidang.
Selena pergi ke perpustakaan kampus untuk mengerjakan ulang dan menghafal materi. Tangannya bergerak sesuai poin-poin di layar laptop. Ia berjalan ke rak finance & accounting mencari referensi. Selena menunduk lesu ketika buku yang dicarinya tidak ada. Ia bergegas pergi ke perpustakaan kota dengan buku lebih lengkap tertera di sana.
Lagi-lagi ia mengulang hafalannya untuk memperkuat argumen. Tekadnya kuat, Selena hanya ingin lulus dan wisuda segera. Buku yang terletak di meja berhamburan membuat orang di sampingnya pindah karena tak ada ruang lagi. Selena meminta maaf dan menutup buku yang tidak digunakan. Ponselnya berdenting, ada satu pesan dari indri yang menanyakan keberadannya.
Selena berdiri ke ruang pelayanan untuk merekap buku-buku pinjaman. Ia mulai membereskan alat tulis dan pulang menaiki taksi. Pesan-pesan beruntun dari Indri membuatnya tersenyum, ia lupa belum membalas pesannya. Selena membaca ulang dan memutuskan untuk menelepon saja.
…
“Lena! Aku kangen banget sama kamu!” Indri berteriak kencang membuat beberapa orang menoleh bersamaan.
“Sama, Mbak. Aku juga,” ucap seseorang di seberang.
“Kamu kapan ke kantor lagi? Anton sama Hanung cari kamu lho.” Indri menatap dua lelaki yang mulai mendekat. Hanung dan Anton berebutan duduk di kursi yang dipakai Selena.
“Iya kah?” Selena seakan tak percaya.
“Iya, serius,” ucapnya meyakinkan.
“Hmm, Senin depan aku sudah mulai sidang skripsi, Mbak. Doakan lancar ya.” Selena terkekeh di akhir kalimat.
“Ih, semoga sukses dan lancar ya.” Indri sengaja me-loudspeaker panggilan.
“Lena. Kapan ke kantor lagi?” Hanung merebut ponsel Indri begitu saja.
“Hmm, kayaknya nggak deh,” canda Selena.
“Ya, kok gitu. Minggu depan Mas Ezhar ada kunjungan ke luar kota lho. Tapi tumben nggak ajak kita,” timpal Anton.
“Mungkin Mas Ezhar bosan lihat kalian, hahaha.” Selena tertawa puas.
“Ya nggak gitu juga ah!” Indri merebut kembali ponselnya.
“Lena, sekarang kamu gimana kabarnya? Baik-baik aja kan?” Indri menerawang jauh. Sesaat suara di seberang nampak hening.
“Aku nggak papa, Mbak.” Ia terkekeh menutup perasaannya sendiri.
“Sarah apa kabar? Kamu masih berhubungan sama dia?” Indri memelankan suaranya.
“Aku sudah memutuskan untuk nggak cari informasi apa pun tentang dia. Kayaknya aku juga berhenti jadi model.” Selena menarik napas panjang yang bisa didengarnya.
“Kamu serius, Len?” Indri tersentak.
“Iya, sudah nggak ada lagi kesempatan buat aku, Mbak.”
“Ya sudah, kamu fokus aja sama sidang skripsi Minggu depan.” Indri menatap Anton dan Hanung bergantian. Mereka merasa kasihan pada nasib Selena. Ezhar yang mendengarkan diam-diam di belakang tertunduk lesu dan menutup pintu kembali.
“Oke, Mbak. Siap, makasih ya.” Selena mematikan panggilan tersebut. Indri menyuruh Anton dan Hanung kembali ke tempat. Sekarang pikirannya tertuju pada Selena, ia merasa iba pada gadis itu. Semoga saja Selena mampu menjalaninya, batin Indri.
…