Dua hari sebelum keberangkatan Selena ke Thailand, gadis itu memutuskan pergi ke KAP Akhmad Wijaya. Sudah beberapa Minggu ini ia tak melihat sosok Ezhar meskipun kadang bayangan itu menggema dalam pikiran. Ia pamit pada sang Papa untuk menemui rekan kerjanya.
Selena membuka pagar KAP dan menutupnya pelan-pelan. Kakinya gemetar saat melangkah ke dalam kantor. Ia merasakan momen di mana pertama kali datang dan bertemu Pak Sudjak. Nuansa baby blue yang identik dengan warna kesukaannya membawa memori baru untuk ia simpan. Di tempat ini, Selena merasakan kebahagiaan, kesedihan dan kesengsaraan yang tak bisa diukir dengan kata-kata. Tak ada yang berbeda, lingkungannya masih sama. Selena berharap Ezhar tidak mengganti warna cat dindingnya.
Ia berjalan dari arah pintu menuju meja kerja kubikal. Indri sedang berdandan seperti biasa terlihat dari sisir dan kaca yang dibawanya. Perempuan itu terbelalak saat Selena mengendap-endap seperti tak ingin ketahuan. Ketika bertemu tatap, Selena menautkan ibu jari di bibir. Jangan sampai ia berteriak kencang, apalagi Ezhar mengetahui keberadaannya.
“Lena? Kamu kenapa ke sini?” Indri merendahkan suara lantas memeluknya.
“Mau kasih surprise aja.” Selena menyandarkan kepala ke pundak Indri.
“Kamu benar ya mau ke Thailand?” tanya Indri lemas. Selena mengangguk, sudah dipastikan Ezhar bercerita pada partner kerjanya. Anton dan Hanung menghampiri kedua perempuan itu. Mereka menatap tulus Selena yang sudah dianggapnya sebagai Adik sendiri.
“Mas Ezhar benar-benar kayak mesin giling waktu kamu nggak ada, Len. Dia suka marah-marah, suka seenaknya sendiri. Kamu nggak bisa gitu kerja di sini aja?” Hanung melayangkan protes padanya.
“Yeee, lo siapa bisa atur-atur Selena? Emang lo Kakaknya?” Anton menempeleng kepalanya.
“Ya kalau ada Selena kan, Mas Ezhar nggak berani macam-macam sama kita.” Hanung melipat kedua tangan.
“Maaf ya Mas Anton, Mas Hanung, aku ke sini mau pamit sama kalian.” Selena ganti menatap Indri.
“Lusa, aku harus berangkat ke Thailand.” Selena berharap ada senyum yang terukir di bibir, nyatanya tidak. Mereka pasti sudah mendengar rencananya untuk pergi ke luar negeri. Ketiganya terlihat menunduk seperti tak ada gairah berbicara.
“Sudahlah, kan nanti kita bisa video call?” Indri mencoba menenangkan.
“Iya juga sih. Bukan itu yang jadi masalahnya, tapi si dia.” Anton menunjuk ruang managing partner, tempat Ezhar bekerja.
“Akhir-akhir ini Mas Ezhar sering tolak tawaran audit dari perusahaan tanpa alasan. Kayaknya kamu harus ngomong deh, jangan sampai karena kepergian kamu. Dia jadi melampiaskan ke kita.” Indri berkata hati-hati supaya tidak menyinggung perasaan.
“Aku masuk dulu ke ruangan Mas Ezhar deh.” Selena berdiri dan mulai mengetuk pintunya. Ia masuk seperti biasa tanpa izin darinya. Selena memandang Ezhar yang berkutik dengan berkas di meja, bahkan kehadirannya tidak diketahui lelaki itu. Selena meletakkan tangan tepat di berkasnya. Ezhar mendongak dan terkejut akan gadis itu.
“Len?” Ezhar mengedipkan mata berkali-kali. Ia menyingkirkan tangan Selena dan menandatangani berkas paling akhir. Gadis itu mengerucutkan bibir, Ezhar malah mengabaikan dirinya. Selena duduk di samping Ezhar dan membuka laptop miliknya. Ia mencari-cari file yang sempat membuatnya kepikiran akhir-akhir ini. Judul a memories sudah tidak ada lagi di laptop Ezhar. Ia menoleh sekilas.
“Mas, aku boleh tanya?” Selena memegang laptop itu dengan kedua tangan.
“Hmmm,” dehamnya.
“File a memories yang ada di sini kok nggak ada ya? Disembunyikan?” Selena curiga kenapa file itu menghilang. Ezhar menghentikan aktivitas tulis menulisnya.
“Sudah saya hapus,” singkatnya.