Hanya dengan senyuman ia menjawab pertanyaan itu, sementara tangan kanan yang sedang menggenggam plastik hitam itu diterkam sang anak. Sepertinya ayahnya tahu jika si anak tersebut sedari tadi mengincar sesuatu yang ada di dalam kantong plastik tersebut. Ia buru-buru menyembunyikan dua kantong plastik tersebut kebelakang pinggang.
“Bapaaaak!” protes Sofi sambil bibirnya merengut.
“Eeett. Nih,” ucap ayahnya sambil menujuk pipinya.
Sofi tersenyum lalu berjalan dua langkah lalu meraih kepala ayahnya. Sofi diam selama dua detik, lalu ia mengecup lembut pipi ayahnya tersebut. Setelah satu kecupan mendarat di pipi ayahnya barulah ia diizinkan untuk mengambil dua plastik hitam yang didapatkan ayahnya dari kerabatnya di kampung sebelah. Ayahnya baru saja pulang menghadiri acara syukuran atas pembelian motor baru yang dibeli oleh kerabatnya itu.
Sofi tertawa riang. Lalu ia mulai melesapkan tangan mungilnya kedalam plastik hitam. Terdengar suara gemeresek yang terdengar dari gesekan antara tangan Sofi dengan plastik tersebut.
“Ini mentahan yah,” ucap Sofi penuh nada kebahagiaan.
Ia mengeluarkan satu buah minuman cup seharga seribu perak yang mengandung perisa teh itu. Lalu mengeluarkan lagi satu buah wafer rasa keju seharga tiga ribu lima ratus rupiah. Sementara ia membiarkan dua mie instan rasa ayam bawang, satu bubuk agar-agar rasa melon, se-perempat gula pasir, dan satu cup minyak goreng yang ukurannya sama dengan minuman perisa teh yang sedang ia genggam tersebut tetap di dalam plastik. Sementara plastik yang satunya tak ia tengok isinnya.
“Bapak ...”
“Iya anakku yang cantik,"
“Bapak lelah ya?”
“...” Ayahnya tak mampu menjawab. Sepertinya bakatnya hanya tersenyum. Baginya tersenyum lebih mudah daripada memperlihatkan beban yang sedang ia pikul. Ia menggendong anaknya lalu berjalan kedalam rumah. Sebelum mereka sampai di pintu masuk, Sofi menyodorkan minuman perisa teh yang sedang ia minum kepada mulut ayahnya.
Nadhira tertegun melihat Sofi dan ayahnya. Ia mantap untuk tidak membuang es krim tersebut. Ia kembali masuk ke arah dapur dan mengambil sebuah cangkir, lalu memasukan es krim yang sudah meleleh tersebut. Ia berlari ke arah ruang televisi sambil membawa gelas tersebut.
“Papi, Dhira masih merasa kenyang. Dhira akan makan es krim ini besok. Sekarang, Dhira akan menyimpan Es Krim ini di lemari es.” seperti tak butuh tanggapan dari ayah dan ibunya yang tengah asyik menonton televisi itu, Nadhira langsung berlari kecil ke arah kulkas yang teduduk di dapur.
*