Lalu sambil mengusap kumisnya kakek tua itu tanpa izin meraih tangan Edi, lalu meletakan tiga lembar daun ke atas telapak tangan Edi. Laki-laki tua itu tersenyum penuh dengan keramahan. Edi dan Sofi menatap ke arah daun tersebut. Tidak ada yang aneh pada daun tersebut, itu hanya daun biasa tidak ada hal yang spesial. Lalu ketika pandangan mereka mengarah kepada kakek tua itu, kakek tua tersebut hilang. Semua pohon yang ada di sana bergerak seperti metronom. Pandangan mereka memindai semua yang mampu terjamah oleh penglihatan. Tapi, kakek itu tidak ada.
“Itu dia,” teriak Sofi, sambil tangannya mengarah ke atas bukit.
Semua keheranan. Dia bisa tiba-tiba berada di atas bukit dengan waktu sepersekian detik. Tiba-tiba tanah yang ada di bawah kaki Edi terjun kedalam perut bumi, lalu ia terhempas kedalam lubang yang kedalamanya hingga puluhan kilometer. Ia terjun bebas lalu ambruk. Ia terduduk lemas diatas permukaan tanah. Semua gelap. Hanya ada cahaya putih yang amat kecil diatas kepalanya. Cahaya itu samar terlihat. Ia menunduk hampir menangis lalu tiba-tiba ada sebuah baju putih yang persis dengan baju yang dikenakan oleh kakek tua tadi mendarat di atas kepala Edi. Edi berteriak karena sulit bernafas. Sementara Sofi menghampirinya, lalu mengambil ranting pohon yang yang jatuh menimpa Edi.
“Edi bangun. Aku harus pulang, sebentar lagi aku harus pergi mengaji,”
Edi menganguk. Tatapannya kosong, seperti orang yang baru saja dihipnotis. Lalu mereka pulang ke rumah masing-masing.
*
Keesokan harinya, Edi sudah nongkrong di depan rumah Sofiyah. “Edi, apa kau akan mengajaku berburu layangan putus lagi?”
“Tidak Opi. Kita akan mengganti bisnis ini dengan bisnis yang lain,”
“Apa itu?”
“Kau ikut saja. Ini kejutan. Aku tidak boleh meberitahukanmu sekarang.”
Ternyata sudah dari tujuh menit yang lalu Ibunya Sofi menguping percakapan mereka. Sofi masuk kedalam rumah. Langkahnya terhenti di depan ibunya.
“Sudah sana pergi main. Biar ibu yang kerjakan ini.” Tawar ibunya yang kini sedang memangku sewadah beras subsidi yang akan dipilah-pilah sebelum di cuci lalu dimasak. Sofi mencium pipi kanan, kiri dan dahi ibunya, lalu ia pergi bersama Edi. Mereka berdua pergi ke sebuah rumah kosong yang sudah tujuh tahun tidak dihuni. Sebentar lagi mereka akan sampai di rumah kosong itu.
“Edi, aku tidak mau pergi kerumah itu,”
“Kenapa?”
“Di sana ada hantu,”
“Hantu?”
“Iya,”
“Hantu kribo,”
“Lantas kamu takut?”