“Oh tidak apa-apa. Ibu akan bayar dua kali lipat dari harga biasa,”
“Baiklah.”
“Bolehkan ibu ikut dengan kalian? Ibu ingin melihat bagaimana kalian membuat es cincau yang sudah sangat terkenal ini. ”
Sofi dan Edi bersitatap. Akhirnya ibunya Nadhira mendapatkan kesempatan untuk melihat pembuatan es cincau yang termashyur dikalangan anak-anak kampung ini.
Sofi meremas-remas daun cincau. Sementara Edi meracik air gula yang dicampur pewarna makanan yang tidak food grade. Bahkan pewarna makanan itu dijual dengan sangat murah hanya dengan dua ratus lima puluh rupiah saja. Udin menambahkan pewarna makanan tanpa takaran yang tepat. Lalu sesuai janji ibunya Nadhira ia memborong es cincau tersebut dengan harga dua kali lipat. Dan setelah itu ibu Nadhira adalah orang yang terakhir membeli Es cincau, sekaligus hari itu adalah hari terakhir mereka berjualan.
*
Hari ini hujan turun begitu derasnya, suara petir melolong melengkapi langit yang mengesani bahwa malam ini terasa suram. Ayah tidak jadi ke surau sebab hujan deras sementara payung butut berwarna kuning itu selalu menyerang balik ketika dibuka. Payung itu tak dapat menemaninya menghalau derasnya hujan hari ini.
Listrik padam, lilin habis. Aisyah dan Sofi berpelukan di samping ibunya yang kondisi badannya sedang kurang sehat. Ayahnya mengambil piring kecil, lalu menyiramkan minyak goreng pada piring kecil tersebut. Ia berjalan sambil meraba-raba sekitar. Ukuran rumah dan jumlah benda yang ada di rumah ini memudahkan ia dalam menghapal setiap sudut rumah, meski gelap ia masih dapat menggapai apa saja yang ada di rumah ini.
Ia melinting sebulat kapas lalu membiarkanya berenang pada kolam minyak itu. Ia membiarkan ujung kapas tidak tenggelam, lalu membakarnya. Kapas yang tenggelam pada minyak adalah pengganti lilin yang bisa diandalkan.
Mereka terlelap dalam remang malam yang melenakan serta nyanyian hujan yang melelapkan tidur mereka.
Pukul 10. 00 malam.
Ibunya merintih kesakitan dalam keadaan hamil tua. Aisyah dan Sofi menangis sedusedan. Ayahnya masih tenang seperti air di perairan tawar. Seharusnya ayahnya itu tidak jadi buruh tani atau kuli bangunan, dia lebih layak jadi aktor.
“Sudah, kalian tenang saja.”
Hujan dan petir menambah-nambah dramatis kecemasan yang ada pada malam ini. Ibunya meringis sambil terus menerus mengusap perutnya. Aisyah dan Ayahnya membopong ibunya menuju daun pintu.
“Bapaaaak!” Sofi terjatuh. Ia tertinggal di belakang.
Aisyah tetap menahan ibunya, sementara itu ayahnya menghampiri Sofi yang tersandung. Tangisan Sofi terhenti. Sementara keringat dingin sudah membasahi sekujur tubuh ibunya. Pipinya menguning. Setiap pinggiran bibirnya memutih. Mereka semua kebingungan. Lalu Aisyah berinisiatif untuk pergi ke rumah Nadhira.
“Um, Um,“
“Tuk tuk tuk”
Hanya ayah Nadhira yang masih terjaga, dia langsung keluar. “Ong,ong, bu. Kit."
Kali ini memahami apa yang dikatakan oleh Aisyah sepertinya akan memakan waktu lama. Tanpa payung, mereka bergegas menghampiri daun pintu rumah Aisyah. Ayahnya Nadhira membantu membopong ibunya. Mereka harus berjalan ke arah depan gang menuju sebuah rumah ruko miliknya yang dia gunakan sebagai garasi.
Mereka basah kuyup. Ibu Sofi sudah lemas dan terus meraung kesakitan. Dia merasakan kontraksi yang hebat. Akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Ibunya sudah ditanggani dengan baik di IGD. Sebenarnya ayahnya sudah merencanakan kelahiran anak ketiganya pada seorang dukun beranak. Namun karena perasaan kalut yang merayap kala itu, membuat Ayahnya tidak mengambil keputusan apapun, hanya mengikuti alur laju mobil ayahnya Nadhira.
Aisyah termangu di dalam salah satu lorong rumah sakit, sementara itu Sofiyah tertidur di pangkuan Aisyah.