“Jadi anaknya tidak jadi ikut bu?”
“Iya tidak ikut, dia sedang sakit,”
“Oh iya bu tidak apa-apa. Padahal bajunya sudah ada, tapi yasudah kita cari penggantinya saja. Lekas sembuh ya bu, buat Aisyah.”
Sementara Aisyah mengintip dari dalam jendela yang berlubang dari dalam rumahnya. Ia menunduk kecewa. Sebab, sepertinya ibunya tak ingin ia ikut berpartisipasi dalam acara lomba gerak jalan. Ia kecewa seperti bunga yang layu. Ibunya hanya tak ingin keadaan Aisyah jadi bahan omongan ibu-ibu. Aisyah hanya diam ketika ibunya masuk kedalam rumah. Ia jengkel tapi tak bisa melakukan apa-apa. Lalu ibunya pamit, sebab siang ini adalah jadwal Fatimah mengambil sampah yang sudah tak sabar minta dijemput.
Sesampainya di rumah Nadhira ia membuang sampah itu, lalu kembali ke rumah ibunya Nadhira untuk meminta bayaran, sebab ini adalah minggu ke tiga dia membuang sampah. Sesampainya di sana, Ibunya Nadhira terlihat sedang mengobrol serius dengan seorang wanita. Wanita itu adalah Ibu Kartika, Uwaknya Nadhira. Baru saja Fatimah melangkahkan kaki di daun pintu, Ibunya Nadhira langsung memborong beberapa pertanyaan untuk Fatimah.
“Sudah dibuang sampahnya?”
“Sudah bu.”
“Haduh” jawab ibunya Nadhira penuh dengan nada kekhawatiran. Malam tadi Ibu Kartika menginap di rumah Nadhira. Pada saat akan sembahyang, kalung dengan liontin jam itu patah, lalu ia menaruh kalungnya tersebut, pada sebuah kardus roti. Ibunya Nadhira menyangka bahwa itu adalah sampah. Mendengar cerita tersebut Fatimah menawarkan diri untuk kembali ke tempat penampungan sampah. Kartika yang terlihat panik langsung menuntun Fatimah yang sedari tadi mengais anak bungsunya.
Mereka berjalan melewati perkampungan. Lalu, tiba-tiba di depan sebuah jembatan ada parit kecil namun airnya dalam, Kartika malah menghentikan langkahnya. Fatimah kebingungan tapi segan untuk bertanya. Kartika meminta Fatimah untuk berputar arah, meskipun akan membuat jarak tempuh semakin jauh. Dengan segala kepasrahan dia mengikuti saja kemauan Kartika, meski dalam hati dia terus menerus dilanda kebingungan. Bukankah untuk menyusul barang yang hilang itu seharusnya dia buru-buru? Entahlah.
Akhirnya mereka sampai di tempat penampungan sampah. Fatimah terus menerus berdoa, ia berharap bahwa belum ada petugas yang mengacak-acak sampah. Ia masih ingat bahwa ia telah membuang sampah rumah tangga itu di sudut kanan. Ia fokus mencari kardus berisi kalung itu di sudut itu. Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka menemukan sesuatu yang berharga itu pada tumpukan sampah. Sebetulnya sampah bukanlah sebuah objek, tergantung pada apa kita memaknainya.
Akhirnya mereka pulang dengan perasaan lega. Ibunya Nadhira menjanjikan bayaran di sore hari. Sepertinya, dia akan memberi bonus pada ibunya Sofi. Lalu Fatimah pulang kerumahnya. “tok tok, tok” terdengar suara pintu yang diketuk. Fatimah langsung menyakini bahwa itu adalah ibunya Nadhira. Ibunya Nadhira memberi upah dan memberikan sebuah amplop titipan dari ibu Kartika. Ia berterimakasih. Tanpa maksud apapun, Fatimah hanya basa-basi dengan menceritakan proses pencarian kalung tersebut.
“Tadi kami lewat jembatan itu bu, yang dekat Counter hp, eh si ibunya tiba-tiba gak mau!"
“Oh iya-iya jembatan yang warna temboknya abu itu yah?"
“Duduk dulu bu,” sela Fatimah. Lalu Ibunya Nadhira duduk di depan teras.
“Jadi dulu anaknya pernah tercebur di parit itu bu. Anak lelaki, waktu itu umurnya masih satu koma tiga bulan.”
Hening.
*