Baby Orca

Dianikramer
Chapter #10

Sepuluh

Mereka menyusuri tiap gang sambil berteriak “Oncom panas, Comeeeeeeeet.” Terkadang ada warga yang terlihat penasaran dengan mereka. Contohnya seorang pemuda yang keluar rumah bukan untuk membeli, namun hanya untuk menuntaskan rasa penasaran akan dua anak yang berteriak melengking itu. Belum lagi, anak-anak kecil yang menirukan gaya teriakan mereka saat berjualan dengan nada yang terdengar meledek.

“Oncom panas, Comeeeeet.” Kata-kata itu bahkan seperti lonceng penanda sore. Banyak ibu-ibu yang gembira menyambut mereka berdua. Siraman bumbu kacang yang terbaik di kelasnya menambah-nambah cita rasa pada gorengan itu.

Sore itu, seperti biasa Sofi dan Utami menjajakan dagangannya di sore hari. Mereka dengan suka cita menjajakan dagangnya meski harus kehilangan waktu bermain di sore hari pada bulan puasa yang luar biasa menyenagkan.

“Combro panas, comeeeeeettt.”

Tiba-tiba sebuah telur ayam meluncur dan mendarat tepat di kepala Sofi.

“Plek.” sebagian bagian telur itu mengenai wajah dan pundak Utami. Mereka kaget, meski begitu, tidak ada sedikit pun rasa emosi yang mampir. Mereka seperti tidak enak pada orang itu. Mereka diam karena merasa tahu diri jika lengking suara mereka itu mungkin terkadang membuat telinga orang tidak nyaman.

Mereka pulang dan merelakan beberapa gorengan yang selamat dikembalikan pada Ibu Nyai. Sementara bagian yang sudah terkena cipratan telur, dibawa pulang. Mereka masih kaget dengan kejadian tadi. Mereka diam di luar. Tanpa suara, Sofi mengepang rambut Utami. Mereka hanya diam di teras rumah tanpa kata, itulah cara mereka membunuh waktu menjelang buka puasa.

Sementara ibunya menggoreng kembali gorengan itu, hanya agar bagian telur mentah itu ikut matang. Setelah suara adzan mengalun bergitu merdunya mereka makan gorengan terlebih dahulu, lalu menunaikan shalat magrib. Ayah mereka baru pulang. Ayahnya terlambat berbuka puasa. Ia membersihkan sisa cat di tubuhnya. Seharian ini dia jadi buruh lepas, mengecat rumah orang di kampung sebelah.

Ia memperhatikan kedua putrinya terlihat murung. Ayahnya memberi uang dua ribu rupiah untuk mereka berdua. lalu mereka yang sudah mengenggam mukena itu pergi keluar dengan raut wajah yang layu. Ayahnya mengernyitkan dahi. Dalam bingung ia bertanya-tanya. Sepulang ibadah tarawih ayahnya menanyakan, apa yang terjadi pada dua putri kesayangannya itu pada Fatimah. Awalnya Fatimah nampak tidak ingin menceritakan hal itu. Ia ingin hal itu layaknya angin yang berlalu lalu; mudah dilupakan.

Pada akhirnya rasa kasih sayang yang ayahnya miliki mampu mendesak Ibu kedua anak itu, untuk menceritakan apa yang terjadi.

“Siapa yang berani melakukan hal itu pada anakku?”

Lihat selengkapnya