Lalu ia memanggil Aisyah dan Sofi. ia hanya mengambil biskuit keju asin itu lalu memberikan sebagian lainnya kepada Sofi dan Aisyah. Aisyah dan Sofi kebingungan, karena buat apa makanan sebanyak itu, tapi mereka tetap mengambil kudapan-kudapan itu. Saat mengambil kudapan itu mata Sofi melihat lukisan wanita yang hampir rampung itu kusut. Aisyah menatap Sofi, dengan segera Sofi memalingkan wajahnya. Ada dua pertanyaan yang tumbuh di benak Sofi: 1. Mengapa dia menghancurkan lukisan itu? 2. mengapa dia pergi ke sawah, jika yang dia lukis adalah seorang wanita? Lalu mereka meninggalkan pak Edgar yang sudah berpindah lagi posisinya.
Aisyah mendengar Sofi yang sedang berceloteh.
“Kak hal yang ingin kucapai adalah mampu kayang dengan baik dan benar.” ujarnya sambil mempraktekan kayang. Dan Sofi malah mirip boneka letoy, atau terkadang mirip dengan balon proyek apartemen yang terseok-seok melawan embusan angin.
Tawa mengudara diantara mereka. Pak Edgar menatap mereka sambil sesekali tersenyum, lalu lanjut melukis. Langit berwara biru cerah, dan gunung yang membusung di utara sudah terlukis pada kanvas. Dia melukis horizontal, dia hanya tinggal menggoreskan cerita di bagian bawah. Ia memanggil Sofi dan Aisyah.
“Kalian mau jadi modelku?”
Seperti tawaran yang selalu terdengar seperti perintah, mereka menerima saja. Lalu Tuan Edgar meminta mereka untuk duduk memangku paha, sambil saling membelakangi. Padahal, baru saja dia menodai kanvas dengan satu titik warna yaitu hijau turqoise. Dia diam, lalu meninggalkan kanvas dan melempar kuas, lalu berjalan ke arah pohon pisang. Aisyah dan Sofi bersitatap.
Pria itu, mengambil rokok. Rokok itu dikeluarkan bukan untuk dihisap melainkan dimasukan kembali kedalam kantong celana pendek yang mirip kolor itu. Dia bersandar pada pohon pisang. Lalu menangis. Dia menangis tersedu-sedu. Ia menangis seperti ibu-ibu yang kehilangan sekantung belanjaan.
Sofia dan Aisyah ragu bilamana ia bertanya, lelaki itu seperti selalu punya alasan untuk tidak membuka pintu. Kali ini Sofi memberanikan diri untuk bertanya. Mungkin ketika kita tidak pernah bisa masuk kedalam seseorang karena sebetulnya kita sudah memilih mundur sebelum sampai pada daun pintu.
“Tuan kenapa?”
Dia tidak menjawab, hanya sesegukan. Bahkan sehabis ditanya oleh Sofi, airmata yang mengalir di pipinya itu malah semakin banyak.
“Saya ingat dengan anak saya. Mereka sudah tiada.”
Lalu dia menyodorkan sebuah dompet kulit berwarna coklat tua. Dompet tebal itu sudah terbuka, sehingga membiarkan Sofi dan Aisyah menatap beraneka kartu berwarna-warni itu berjejer rapi, dan tentu sudut kanan lapis laminating transparan tempat menaruh foto. Selain ada foto istrinya yang kala itu berambut pendek ala demi moore dan lengkap dengan kacamata jengkol yang berjaya di masanya. Di sana ada foto dua anak kembar berambut coklat sebahu. Dua anak itu berada di sebuah studio foto dengan background berwarna biru navy. Agak sulit membedakan siapa adik dan siapa kakak diantara mereka. Keduanya memakai kemeja yang sama. Keduanya menggunakan kemeja putih dilengkapi rok mini selutut, dengan dua garis di setiap tepian roknya. Kaki mereka pun dilengkapi kaos kaki yang membentang sampai lutut, sehingga itu menutupi semua bagian kaki mereka. sepatu merah menyala membungkus kaki mereka. Dan memang, pose kedua anak itu saling membelakangi, sebagaimana pose yang Sofi dan Aisyah lakukan. Mungkin hal itu yang menyentak-nyentak batinnya tanpa sedikit pun jeda.
Sofi memenangkan pak tua dengan kata-kata sementara Aisyah menenangkan dengan sinar mata. Lalu keduanya membiarkan Lelaki itu menikmati kesedihan dan lara yang kini berhasil menjadi karibnya.
Sofi dan Aisyah mengobrol sambil meghabiskan kudapan yang banyak itu. Banyak yang mereka bicarakan. Sementara Tuan Edgar menangis seperti anak yang merengek minta balon. Untuk sesi menangis, pria itu membutuhkan waktu selama tiga belas menit, sementara waktu yang dia butuhkan untuk melamun setelah menangis adalah tujuh menit, lalu dia tertidur selama dua puluh menit.
*
Setelah dia bangun, ia menegak air putih dalam kemasan. Wajahnya nampak lebih segar dan lebih ceria. Mahluk itu layaknya ponsel yang baru saja diisi daya. Lalu ia meminta Aisyah dan Sofi untuk kembali menjadi model, tentu tidak dengan pose yang tadi. Lalu mereka berpose tertawa lepas. Tangan Edgar seolah menemukan kembali nyawanya. Ada energi yang terus menerus menggiringnya untuk membuat lukisan yang indah.
Sementara itu Aisyah dan Sofi mampu tertawa seperti itu karena mereka terus menerus mengingat ingus hijau toska. Tuan Edgar menyisakan beberapa bagian pada lukisan itu kosong. Mungkin dia akan improvisasi untuk bagian pemandangan. Lalu mereka pulang kembali menuju villa.
*