Dua minggu lagi tahun ajaran baru akan dimulai. Sampai sekarang Sofi belum terdaftar di sekolah mana pun. Sofi selalu berlari ke kamarnya dan menitikan airmata diam-diam.
Sudah tiga hari berturut-turut ayahnya tidak pulang tepat waktu. Keadaan hati Sofi sedang sangat kacau. Dia memilih diam di kamar yang sempit itu.
Ingin tidur tapi tak tertidur. Lelah tapi tak terpejam. Ibunya masih menunggu ayahnya yang akhir-akhir ini selalu membuat hatinya kesal dengan pulang larut.
Keesokan harinya.
Sudah pukul enam sore. "Bu, Ayah belum pulang?”
Ibunya hanya menitikan airmata, sebab menitikan air mata lebih mudah dibandingkan dengan menjawab pertanyaan dari anaknya tersebut.
Terkadang, ibunya menggerutu sendiri sambil memasak. Sementara anak-anaknya hanya mendengarkan saja ibunya bersungut. Kadang-kadang anaknya itupun ikut mengeluh dengan keadaan ini.
Ibunya selalu dibuat kesal oleh kelakuan ayahnya akhir-akhir ini. Jika ditanya istrinya Rohman hanya menjawab bahwa ada keperluan. Malam itu, hawa tidak enak sangat terasa nyata. Sofi hanya mampu terdiam di kamar. Ayahnya kali ini pulang lebih larut.
Ayah dan ibunya bertikai. Utami dan Sofi berpelukan. Utami mulai menangis, sementara Sofi berusaha tampil tegar, agar Utami bisa menghadapi malam ini dengan lebih tenang.
“Kamu tidak memikirkan perasaan anak-anakmu? Apa kamu tidak pernah lihat jam setiap pulang kerumah?”
“Iya aku lihat. Tapi aku ada urusan,”
“Urusan? Jika memang kau ada urusan, tolong beritahu aku, urusan apa itu?!”
Ayahnya mengganti baju dan melengos tanpa menjawab pertanyaan dari istrinya. Ibunya sudah habis kesabaran, ia melempar panci kecil yang ada di dapur lalu menangis tersedu-sedu. Sontak, Sofi dan utami langsung keluar kamar. Mereka menyaksikan ibunya terus menerus menangis, sambil terus-terusan menggerutu.
Ayahnya kembali ke arah ibunya. Dia berjongkok agar sama sejajar dengan istrinya.
“Sayang maafkan aku. Sudah jangan menangis. Begini, tolong kau dengar aku. Aku ini sedang berfikir bagaimana membayar biaya pendaftaran sekolah Sofiyah. aku sudah menyisihkan sebagian uangku tapi itu belum cukup. Aku berangkat ke kantor Sumitra finance untuk memastikan apakah benar motor yang kugunakan kemarin adalah barang yang telah menjadi buron. Aku kesana untuk menge-cek, dan pada akhirnya memang benar. Aku menemui Rosyid dan menanyakan perihal itu. Dia mengakui bahwa dia memiliki tunggakan pada perusahaan itu. Aku hanya berusaha menanyakan uangku. Uang gadaiku ada tiga juta setengah rupiah. Aku berharap dia mengembalikan uangku, meskipun dengan mencicil. Aku akan gunakan uang itu untuk mendaftarkan Sofi. Maaf jika aku pulang malam, aku berjalan ke kampung Sari Getah. Maaf jika aku pulang larut. Fatimah kesayangan ku, bintang di hatiku, jangan menangis lagi. Sepertinya sudah tidak perlu kujelaskan jarak perjalananku. Apalagi aku hanya bermodal kan kaki ku ini.”