Lalu ia menemui kakaknya dengan meninggalkan tembok, yang terdapat tulisan “Miracle” namun kini tulisan itu tidak jelas untuk dibaca. Dia menemui kakaknya itu, lalu memeluknya.
“Ii. Wah, sen, sih," Ucap Aisyah tidak jelas.
Firman menyela istrinya yang sedang menjelaskan apa yang terjadi. Firman menyampaikan pesan, bahwa lukisan tuan Edgar yang menjadikan Aisyah dan Sofiah di sawah dengan pose tertawa sambil mengingat-ingat ingus hijau toska itu sudah laku terjual. Firman dan istrinya tidak tahu menahu berapa harga jual lukisan tersebut. Namun untuk ucapan terimakasih tuan Edgar memberikan amplop kepada Aisyah dan Sofiyah.
Aisyah menangis tersedu-sedu. Ia menangis bahagia. Fatimah membuka amplop tersebut dan di dalamnya terdapat uang sebesar tiga juta lima ratus rupiah. Sofiyah menangis dan memeluk ibunya.
*
Keesokan harinya.
Aisyah dan ayahnya naik ojeg untuk mendaftarkan Sofi yah sekolah. Sesampainya di sana, seorang petugas tata usaha menerima pendaftaran, namun dengan syarat tambahan, yaitu mendengar dia berceramah.
“Pak, kenapa tidak mendaftarkan anaknya sebelum tanggal masuk pak. Kan di brosur sudah tertera tanggalnya kapan akhir dari gelombang tiga.”
Lalu dia mencatat data diri Sofiyah. Dia sepertinya malas menerima Sofiyah, karena itu pertanda bahwa dia memiliki tugas tambahan. “Berapa biaya pendaftaran bu?”
“Satu juta tujuh ratus lima puluh pak,” jawabnya ketus. Sepertinya kesal karena keterangan-keterangan tersebut sudah ada pada brosur. Senyum tetap tergurat di wajah Sofi dan Ayahnya, sembari menunggu sang petugas tata usaha itu menyiapkan surat dan administrasi lainnya Sofi melihat-lihat keadaan yang ada di sekitarnya. Sofi tidak bisa menutupi rasa senangnya.
Ini pak silahkan di tandatangani, lalu dia menyodorkan sebuah kertas. "Untuk cicilan pertama mau bayar berapa dulu pak?"
“Anu bu, saya akan melunasi biaya pendaftaran.”
Lalu ayahnya langsung menghitung uang dan memberikan uang senilai satu juta delapan ratus rupiah. Entahlah padahal hanya setumpuk uang, namun itu mampu membuat petugas TU (tata Usaha) itu menjadi lebih ramah.
Ayahnya memasukan sisa uang kedalam amplop.
“Bu saya sekalian bayar bulanannya, dan baju olahraga serta batik.”
Dia mengeluarkan uang Sofi yang didapat dari Pak Edgar. Sofi menatap ayahnya keheranan. Lalu petugas itu mendekati petugas lainnya. Mereka terlihat sedang berdiskusi.
“Anak bapak sudah melunasi SPP sampai bulan november tahun depan.”
Sofi menatap ayahnya kebingungan. Petugas TU itu memanggil salah satu anggota Osis yang berpakaian sangat rapi.
“De, di kelas masih ada acara?”
“Iya bu, ada acara siraman rohani,”
“Bu saya ijin ke toilet sambil lihat-lihat dulu boleh?” tanya Sofi.
“Oh iya silahkan.”