Sofi mendekati adiknya yang kini menjemur pakaian renang yang basah itu. Lalu utami memalingkan wajahnya.
“Kakak mau bikin aku malu?”
“Malu?”
"Iya. Aku salah apa sih sama kakak?”
“Eits sebentar. Bisa kau jelaskan di mana letak kesalahanku?"
“Kenapa kakak masukan ikan Japuh kedalam kotak bekal makanan milikku? gara-gara kakak, aku dihina oleh mereka. Mereka bilang aku si Kepala Japuh. Padahal mie goreng dan telur saja sudah cukup!”
Sofiyah terdiam.
Tiba-tiba ibu mereka datang membawa belanjaan.
“Ami, bagaimana? Enak tadi ikannya? Ibu sudah mau ambil cabe rawit satu, buat makan ikan itu sama nasi panas. Tapi ibu inget sama kamu. Yaudah ibu masukan saja ke dalam wadah bekalmu. Akhirnya ibu makan sama nasi pakai garam.”
*
Siang ini, para tetangga sedang bergumul di depan tukang sayur. Sofiyah kali ini mewakili ibuku untuk belanja.
“Anakmu kapan menikah? pacaran terus yah?” tanya bu Indra kepada Santia. Sepertinya dia termasuk manusia yang punya semangat tinggi. Ya semangat untuk mencampuri urusan orang lain.
Sofiyah memilah-milah biji jengkol yang mana yang bagus, meski menyebalkan bu Indra kali ini memuji Sofiyah.
“Lihat nih bu, si Sofi sudah kelas satu SMA tapi gak pernah pacaran!”
Sofi menunduk. Semua ibu-ibu yang ada di sekeliling Sofi menatap dengan penuh rasa bangga yang terpancar pada setiap sinar mata mereka. Dalam hati, Sofi menggumam sendiri.
“Hmm mereka belum tahu saja, sebenarnya ada beberapa lelaki yang mendekatiku untuk sekedar berteman dan ingin mengenalku lebih dekat. Tapi, pada akhirnya akulah yang memutuskan untuk menjauh dari mereka".
Karena ketika mereka memutuskan untuk menyambangi kediaman Sofi, ia seperti enggan melanjutkan kedekatan itu ke jenjang selanjutnya.
Lalu, Sofi memutuskan untuk membeli sayuran untuk sayur lodeh, tak lupa ia membeli satu buah kelapa untuk santan.
*
Ayahnya baru saja pulang dari kebun. Ia pasang wajah kecewa.
“Teh?”
“Iya,”
Ayahnya menikmati teh sambil melamun.
“Apa yang kau pikirkan?”