Baby Orca

Dianikramer
Chapter #22

Dua Puluh Dua

Pagi itu, Sofi sudah berada di sekolah. Maklum, hari itu dia naik mobil pikap. Hanya ada satpam yang masih mengenakan singlet ataupun ibu kantin dan anaknya yang bersiap untuk membuka kantin. Sesaat setelah pintu kelas dibuka, Sofiyah langsung masuk ke kelas. Dia menaruh tas model rajut berwarna cokelat miliknya. Sebelum duduk, dia melihat ada sesuatu yang menempel di bawah mejanya.

Hai, anak galing jelek!

Galing itu berarti keriting. Entahlah, siapa yang menuliskan itu. Intinya, tulisan itu mampu membuat Sofi seperti terpental dari langit ke bawah permukaan bumi. Kata pepatah, jangan meremehkan hal kecil. Sebab, tulisan yang tak sampai satu paragraf itu mampu membuatnya menjadi tidak semangat seharian.

Sepulang sekolah, dia menghadap cermin dan menatap rambut keritingnya. Sejak saat itu, dia lebih suka mengikat rambutnya dan tulisan itu datang lebih rajin dari semut yang datang dalam konferensi gula. Dalam Satu bulan, Sofi menemukan kertas yang berisi nada-nada skeptis soal penampilannya.

***

Terkadang, menyenangkan memiliki atasan seperti Bu Dameria dan Bapak Edgar. Namun, memang perlu kesabaran yang ekstra dalam menghadapi emosi dan mood mereka yang terkadang tidak stabil. Kemarin, dia mengeluhkan satu buah guci yang ia beli dari Cina itu hilang. Aisyah sudah beberapa kali merasa tersinggung, meski tidak dituduh. Dia sudah terbiasa hidup dalam rimbun kesulitan, maka kepicikan dan kecurangan tak sedikit pun menggoda batinnya.

Dan entahlah, sepelik apa permasalahan yang ditanggung oleh seorang seniman itu? Padahal, guci dari Cina itu telah ia berikan pada kerabatnya yang berkunjung tiga bulan lalu ke vila. Untuk membayar semua kegaduhan yang dia buat, dia memutuskan untuk mengajak Firman dan Aisyah makan malam di sebuah rumah makan. Kebetulan, Sofi dan Utami sedang menginap di vila.

Mereka ditraktir oleh Bapak Edgar yang sangat pelupa dan terkadang sangat baik. Mereka makan seafood di salah satu restoran mewah di Jakarta. Utami dan Sofi sangat senang. Bagi mereka, makan di tempat mahal seperti ini adalah hal yang jarang terjadi. Makan di luar bagi mereka adalah hal yang spesial.

Mereka sangat iri pada kehidupan Pak Edgar—bisa makan enak sering-sering. Namun, semua terkadang sama saja. Apa yang kedua anak itu idam-idamkan, sebenarnya hal yang sudah menjadi biasa bagi Pak Edgar. Terakhir, masing-masing amplop putih diselipkan untuk Utami dan Sofiyah.

***

Pagi ini, Sofi minta diantar ke salon oleh temannya yang bernama Fani. Fani ini mahir sekali dalam hal bersolek. Bisa dibilang, keberadaannya di sekolah, seperti antara ada dan tiada. Fani, gadis SMA yang tampangnya lebih tua dari usianya itu, seperti makhluk astral. Dia lebih banyak tidur di sekolah. Rasanya, teman-temannya sudah memaklumi, karena terlalu sering dia tidur pada saat jam pelajaran. Seperti diketahui, terkadang, malam-malamnya dia isi dengan menjadi biduan dangdut di pentas pernikahan. Sepertinya, bisa dikatakan dengan jujur, anak ini seperti hanya butuh ijazah. Hal-hal lain yang ada di sekolah, tidak ada yang menjadi sebuah adrenaline rush baginya.

“Fani.”

“Iya, Fi? Kenapa?” Fani sendiri merasa aneh pada Sofi yang kali ini mendekatinya. Sebab, biasanya dia jarang bergaul dengan Fani.

“Kamu bisa anter aku enggak?”

“Anter ke mana, Fi?” tanya Fani yang kini terlihat sibuk menghapus lipstiknya. Sebab, tadi ditegur habis-habisan oleh salah satu guru.

“Ke Salon, Fan.”

“Serius, kamu mau kuantar ke salon?”

“Iya, Fan.”

“Ya sudah, pulang sekolah, ya.”

***

Bel telah berdentang. Sofi menghampiri Fani.

“Yuk, Sof.”

Lihat selengkapnya