Keesokan harinya. Guru sedang menjelaskan materi pelajaran, lalu memanggil Sofi berdasarkan daftar absen yang dibaca secara acak. Baru saja Sofi akan maju, melangkah mendekati papan tulis, seseorang berteriak.
“Rambut jamur!”
“Eeh ... enggak boleh gitu,” ucap guru yang sedang duduk di pinggir.
Tanpa sadar, Sofi menitikkan air mata sambil mengerjakan soal. Ibu Nadi, seorang guru matematika yang kini sedang bertugas di kelasnya itu mendekati Sofi. Ia merangkul Sofi dan mengajak Sofi keluar. Setelah Sofi berada di luar kelas, dia kembali ke dalam kelas dan berpesan agar siapa saja yang mampu mengerjakan soal yang ada di depan papan tulis untuk melanjutkan perkerjaan Sofi. Setelah itu, dia lanjut merangkul Sofi dan menggiringnya ke ruang kantor.
Dia tak banyak bicara, hanya tersenyum menatap Sofi. Bu Nadi mengusap rambut Sofi dan menggenggam tangan Sofi.
“Kalau kamu mau nangis, nangis saja,” ucapnya sambil mengambil sekotak tisu. Kerudung cokelat yang membingkai wajah seorang guru yang kini memancarkan rona ketenangan.
“Ini, kamu minum dulu.”
“Makasih, Bu,” ucap Sofi sambil menyeka air matanya.
Bu Nadi langsung menghampiri Bu Siti. Dia melaporkan salah satu anak yang melakukan perundungan pada Sofi.
“Kamu ke kelas kalau memang merasa sudah tenang, ya. Nanti soal pelajaran hari ini, kamu tanya kepada temanmu dan hubungi guru mata pelajaran ya,” pesan Bu Nadi.
Beberapa hari ke depan, Sofi terus menerus digentayangi oleh bully-an teman-temannya.
***
“Sofi Nafisah?”
Semua murid bergeming.
“Sofi Nafisah?”
“Enggak ada, Bu. Enggak masuk.”
Anak-anak di kelas itu saling berbisik.
Mereka mulai memiliki fikiran yang sama, yaitu Sofi tidak masuk sekolah karena tidak nyaman karena kerap dipanggil dengan panggilan si rambut Jamur.