Baby Orca

Dianikramer
Chapter #24

Dua Puluh Empat

Wanita dengan setiap helai rambut yang memutih dan setiap kerutan yang tergambar pada wajahnya. Kini, ia mampu membuka mata dan mengembuskan napas sesuai dengan ritme yang seharusnya. Seperti sebungkus makanan yang terbuang tidak sengaja, ada pertaruhan ketika mengambil benda tersebut. Apakah ciki tersebut masih ada atau tidak? Begitu pula yang dirasakan oleh nyonya yang sudah renta tersebut.

“Ibu sudah melewati masa kritisnya.”

“Syukurlah.”

Percakapan mereka di depan jendela kaca yang membiarkan mereka melihat keadaan pasien yang sudah menemukan hasil petaruhannya.

“Nadhira, Ibu dan Ayah harus tinggal dulu di sini untuk sementara waktu. Kira-kira, kita akan pulang minggu depan,” ucap ayahnya. 

“Aduh, Bu. Dhira sudah beberapa hari ini tidak sekolah,” jawab Nadhira. 

“Sudah, kau pulang saja. Nanti Ayah dan Ibu menyusul pulang.”

Lalu akhirnya, Nadhira pulang dari kota Malang dengan kereta api. Dia diantar oleh sepupunya. Pulang bersama ayah dan ibunya, seperti bukan pilihan. Sebab, eyang Nadhira ingin diurus oleh ibunya. Sementara itu, Nadhira sudah bolos tiga hari.

Suara derit roda kereta, nyatanya mampu membuat dia tertidur lelap. Sesampainya di Stasiun Senen, Nadhira yang kelelahan itu harus dibuat jengkel oleh sekumpulan keluarga yang bertamasya di stasiun. Mereka menghalangi jalan. Dalam hati, dia menggerutu, sambil melihat orang-orang yang berisik itu. Mereka membawa makanan dan tikar. Dengan langkah yang emosi, dia berjalan. Nadhira berjalan ke arah satpam

“Tolong, ya, Pak, ada orang piknik di sana,” keluh Nadhira.

Tanpa menjawab atau setidaknya menanggapi keluhan Nadhira, satpam itu langsung berjalan ke arah keluarga yang sedang piknik tersebut. Pada jarak yang jauh, Nadhira melihat satpam tersebut mengangkat-angkat sebuah tongkat. Hingga anak yang sedang ikut piknik pun tampak panik. Tiba-tiba, rasa jengkel yang ada pada dada Nadhira sirna. Ia lanjut pulang menaiki bus ke arah Bogor.

Nadhira tertidur di dalam bus. Sampai pada akhirnya, dia terbangun dalam perjalanan oleh ponselnya yang berdentang. Ponsel itu nyaring berbunyi, sebab ibunya ingin menanyakan kabar anaknya. Lalu Nadhira memberitahukan keadaanya dan sudah sampai di mana, lalu setelah itu, ia lanjut tidur.

Sesampainya di rumah, dia beristirahat, lantas menyadari bahwa esok adalah hari Minggu. Dia tersenyum simpul, kenapa dia tak pulang besok saja? Lalu dia beristirahat.

***

Esok pagi setelah sarapan, Nadhira nongkrong di depan rumahnya. Padahal, itu adalah rumahnya. Namun, setelah bersekolah di sekolah berstandar Internasional itu, membuat lambat laun dia asing pada sesuatu yang sebenarnya dia temui sehari-hari. Kira-kira, teori apa yang mampu menjelaskan dan mampu menamai perasaan itu? 

Siang ini, sambil minum teh hangat, dia memperhatikan teras rumahnya yang di mana dia baru memperhatikan sekeliling dan terus menghayati sekitarnya. Dia menatap bunga yang kehausan. Sebagian lantai rumah yang warnanya sedikit memudar, selalu berlari dari intaian mata.

Ia menatap Utami dan ibunya yang sedang memilah rempah-rempah yang layak maupun tidak layak. Nadhira berdialog dengan dirinya sendiri, betapa dia menyadari, bahwa kesibukannya bersekolah dan berkegiatan di luar rumah, membuatnya lupa untuk menyapa tetangganya.

Nadhira ingin sekali untuk menyapa sepasang ibu dan anak tersebut, tetapi ragu memalang langkahnya. Ia kembali ke dalam rumahnya.

Sore hari, ketika Nadhira sudah tidur selama dua jam begitu pulas, ia bangun, lalu ke luar teras. Ia melihat Sofi. Begitu pun Sofi, ia menyadari bahwa Nadhira sedang menatapnya. Namun, Sofi sebatas tersenyum pada Nadhira. Ia tidak tahu apa jadinya jika dia bertingkah sok kenal dengan menyapanya lebih jauh. Ini yang dinamakan jarak yang menyelip di antara dekat.

Lihat selengkapnya