Nadhira bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil tote bag berwarna putih. la hanya cukup menambahkan kardigan berwarna putih dan memakai sandal jepit dengan merek Save Earth. Sementara itu, ayah dan ibu Sofi dan Utami sudah bersiap di depan teras. Sofi dan Nadhira menyusul.
Ibunda Sofi terkaget-kaget melihat Nadhira bergabung bersama mereka.
“Nadhira ikut?” tanyanya.
Nadanya penuh keraguan, bahkan ia sempat takut jika keraguan yang terpancar pada wajahnya itu bukanlah karena dia tidak ingin ada orang yang bergabung dalam acara tamasya, lantaran dia bingung dan sungkan mengajak Nadhira.
Fatimah memakai gaun berwarna kuning yang sebenarnya lebih pantas digunakan untuk ke pesta. Sementara Utami memakai running shoes.
“Nad, coba lihat. Sandal ini sama dengan punyamu," ujar Sofia
“Hahaha.” Mereka tertawa menatap dua sandal dengan model dan warna yang sama.
Mereka mentertawakan sandal itu. Sandal itu, nyaris sama, yang berbeda hanyalah pada sandal Nadhira tertulis ‘Save Earth’, sementara milik Utami, ‘Save Heart’ dan harga sandalnya Nadhira tiga ratus tujuh puluh tujuh ribu, sementara harga sandal milik Utami delapan belas rupiah saja.
Mereka masih menunggu Aisyah dan Firman yang sedang menyewa angkutan umum. Lalu setelah menunggu sekitar tujuh menit, akhirnya, angkutan umum berwarna hijau terang itu sudah berada di depan gang. Fatimah membawa tas yang di dalamnya terdapat beberapa lontong dan beberapa botol teh manis.
Akhirnya, mereka sudah naik angkutan umum itu. Setelah semua naik, pintu ditutup. Semua menampakkan wajah gembira, meski dalam mobil tidak ada AC. Utami mengeluarkan bekal yang berisi beragam kudapan yang rata-rata harganya lima ratus rupiah.
Pada leher Nadhira, sudah terdapat bulir-bulir keringat. Dia sudah mulai pusing, karena harus duduk dalam posisi miring. Dia mulai merasakan mual dan pusing. Dia menutup mulutnya. Utami menyodorkan minyak gosok dan kantung plastik untuk Nadhira. Mereka bersitatap dan tertawa memecah kebisuan.
Sudah dua jam mereka terjebak dalam kemacetan, ayah dan ibunya keluar dan diam di trotoar. Lalu Utami menyusul ke luar angkutan. Sofi mengajak Nadhira untuk menyusul keluar. Nadhira diam, dia belum melangkahkan kaki karena dia ragu.
Akhirnya, sambil menunggu kemacetan, mereka memasang tikar di pinggir tol. Mereka memesan kopi pada penjaja kopi. Mereka bersenda gurau, meski orang-orang sekitar melihat mereka. Nadhira merampas keraguan dalam hatinya. Ia pun melangkah ke arah keluarga Sofi yang sedang bersantai di pinggir jalan. Keceriaan tampak dan semakin timbul jelas pada tiap permukaan wajah mereka. Nadhira pun ikut senang dan seperti kebahagiaan itu terus menular. Lalu ketika mobil sudah mulai maju, mereka panik dan terburu-buru untuk mengejar mobil. Mereka semua menoleh ke belakang. Mereka menertawakan ayahnya Sofi yang sedang berlari sambil membawa gulungan tikar.
Mereka melanjutkan perjalanan itu ke sebuah taman bunga dan pemandian air hangat yang hanya memasang tarif lima ribu rupiah per tiket. Liburan mereka sangat lengkap dengan sajian lontong buatan ibunya Sofi. Nadhira tidak merasa menyesal ikut liburan dengan keluarga Sofi, bahkan dia sangat senang. Piknik itu sangat berkesan baginya.
***
Siang itu, Nadhira bersama teman-teman sekolahnya berjalan menuju rumah Nadhira. Sekumpulan anak wangi itu, sudah masuk ke dalam gang. Mereka sedang berjalan sambil mengobrol. Lalu Utami berjalan di belakang mereka. Nadhira menyadari keberadaan Utami, ia tersenyum. Utami membalas senyuman dari Nadhira. Utami berjalan lebih dulu dari mereka, lalu pada punggung Utami terlihat tas Baby Orca. Nadhira teringat pada tas yang ia kecewai pada kala itu. Entah kenapa, ada perasaan aneh yang menyergap Nadhira, tapi sepertinya, hal itu tak penting, sebab perasaan itu sering sekali tenggelam karena obrolan Nadhira dan teman-temannya.
***
Nadhira dan teman-temannya mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan, dia menghabiskan waktu di kedai es krim.