Baby Orca

Dianikramer
Chapter #29

Dua Puluh Sembilan (Ending)

Sore itu, Uncle Sam dan anaknya berkunjung ke rumah kontrakan yang dihuni oleh keluarga Sofiyah. Seperti berlari di sebuah stadion, sebenarnya yang mereka obrolkan adalah seputar kecurangan yang dilakukan oleh kerabat mereka sendiri. Sofi menangis jika teringat semua rentetan kejadian itu. Ia merasa lelah. Seperti influenza, ternyata tangisan mampu menular. Utami dan Fatimah ikut menangis.

Uncle Sam menjelaskan, bahwa sebenarnya menggapai sebuah mimpi bukanlah mengambil bintang di langit, yang bahkan kita tidak tahu seberapa jauh jaraknya.

Anggap saja, jika menggapai mimpi itu adalah menyalakan lampu yang mampu menerangimu dan sekitar. Kau hanya butuh tangga yang mampu membantu menggapai itu—menyalakan lampu. Kali ini, kau harus bersabar, sebab bangku yang digunakan oleh ayahmu untuk menggapai mimpi itu sedang rusak. Bangkunya yang patah, bukan keinginan ayahmu yang surut. Bangku boleh patah dan kamu belum mampu menyalakan lampu, karena bangkunya patah. Tapi bukan berarti kamu tidak pernah bisa menyalakan lampu. Sebab, bangku masih bisa diperbaiki.

***

Utami dan Sofi sengaja mampir ke rumah yang dulu mereka tinggalkan. Sesampainya di sana, mereka mendapati, bahwa sebagian dari rumah tersebut tengah dirombak sebagian. Utami menangis sambil sesekali menjerit. Ia tidak ikhlas jika rumah itu dipermak. Sofi mencoba menenangkan Utami yang terduduk. Orang yang sedang bekerja merombak rumah yang penuh kenangan itu berhenti sejenak, mereka bersimpati pada kedua anak itu. Lagi pula, siapa yang akan membiarkan anak-anak menangis. Tangisannya terdengar seperti lengkingan suara biola yang dipaksa memainkan nada-nada minor.

Mereka berhenti sejenak, lalu melanjutkan kembali pekerjaan mereka. Yang mereka tahu hanyalah berkerja dan merombak rumah itu. Seorang wanita yang memakai blouse putih itu merangkul dan menggiring mereka ke rumahnya.

Di depan Nadhira dan ibunya, Sofi menceritakan pilu yang telah menghantam kebahagiaan mereka. Nadhira dan ibunya turut bersedih. Mereka berdua tak menyangka, bahwa tetangga mereka itu harus kehilangan rumah dengan cara seperti itu. Akhirnya, dengan luka yang menempel akibat pemandangan tadi, mereka pulang dengan membawa sekantung makanan dan seamplop uang dari ibu Nadhira.

***

Sudah hampir seminggu Sofi tidak masuk sekolah. Padahal dua minggu lagi adalah jadwal untuk ujian praktik. Sofi hanya bisa tertidur, lalu terbangun dengan keadaan bantal yang basah. Ia tak mampu untuk menekan kedua orang tuanya. Ia tak sampai hati. Dia menyadari, bahwa tangganya mungkin sedang patah.

Dia mengambil sebuah pulpen dan menulis lagi tulisan miracle pada tembok, lalu ia tutupi dengan kalender hadiah dari toko emas. Dia menulis dengan perasaan asa yang mulai terputus dan hilang gairah, tapi menyebalkan! Sebab setelah menutup tulisan yang ada pada tembok ia melihat wanita yang ada di dalam gambar di kalender tersebut terlihat sangat optimis, kontras dengan wajahnya yang sedang muram.

“Asalamualaikum.”

Setelah menjawab salam itu, sesosok wanita dengan paras menyejukan masuk ke dalam. Sofi malu dan canggung atas kedatangan wali kelasnya itu. Fatimah membuatkan teh untuk Ibu Siti.

“Bagaimana kabarmu, Sofi? Baik, ya. Sehat, ya.” Pertanyaan penuh kasih sayang yang diakhiri dengan tawanya yang lembut.

Lihat selengkapnya