Blair menatap sayang ke arah bayi mungil yang berada di dalam inkubator. Pagi ini, ia baru saja mengantar bayi itu kesini dan langsung dibawa masuk ke ruangan itu. Napasnya terengah ketika perawat sama sekali tidak mengizinkannya masuk untuk melihat bayi itu.
Kalau saja ia tahu akan berpisah secepat itu dengan Sang Baby, dia tidak akan menyerahkannya begitu saja. Eh, kalau begitu, bayi mungil itu pasti tidak akan selamat. Apa sih yang ia pikirkan?
“Nih minum dulu,” kata seorang pria dengan kemeja yang lumayan rapi, sambil menyodorkan botol mineral.
Blair menggeleng dengan tangan di udara—memintanya untuk menjauh dengan segera. Matanya kini masih sibuk memperhatikan bayi mungil di dalam inkubator dengan tangan yang melambai-lambai seolah memanggil bayi itu untuk melihatnya.
“Minum dulu, Blair!” kata pria itu dengan nada tinggi. Entahlah, ia mendadak emosi karena seorang bayi.
“Saya gak mau pisah sama Baby Nord!” ujar Blair tanpa menoleh sedikit pun.
Pria itu tampaknya merasa frustrasi. Dia kembali duduk dan membuka minuman yang ia beli tadi—sengaja ia membeli dua, untuk dirinya dan juga Blair. Dia jelas tahu kalau sejak pagi—sejak menemukan bayi mungil yang menangis di depan apartemennya, Blair tak kunjung makan. Gadis itu justru sibuk mengurus bayi yang tak mereka ketahui identitasnya. Tapi, belum apa-apa, Blair sudah memanggilnya dengan Baby Nord.
Mulut botol mineral yang ia buka dan baru saja ia minum itu langsung diambil alih oleh Blair. Gadis itu dengan cepat menghabiskannya hingga habis. Lalu, mengembalikan botol itu kembali pada pemiliknya.
“Baby Nord akan selamat kan? Saya takut dia kenapa-kenapa,” ceritanya lirih.
“Kita berdoa saja,”
Blair duduk dengan gelisah, bahkan wajahnya pun mendadak pucat. Tangannya terlihat gemetar, dan itu sangat mengganggu bagi pria yang duduk di sampingnya. Pria itu menepuk dua kali bahu Blair, hingga membuat empunya menoleh dengan terkejut.
“Percaya sama saya, bayi itu akan baik-baik saja,” katanya cukup meyakinkan.
Blair menggeleng, “Gimana kalau dia gak bisa bertahan? Gimana kalau dia pergi ninggalin saya?” tanyanya tampak sedikit frustrasi.
Pria yang duduk di sampingnya itu kembali menenangkan dengan menepuk-nepuk bahunya, dan memeluknya dari samping. “Dia akan tetap sama-sama kita. Kamu jangan cemas, saya akan selalu ada di samping kamu, dan kita akan melewati ini semua bersama.”