Endana mengerling kepada adik laki-laki nya itu yang langsung dibalas tatapan sengit darinya. Wanita itu sama sekali tidak menghiraukan respon itu, ia justru menarik Blair menuju ruang tamu. Dengan wajah bangun tidurnya—tentunya masih terlihat cantik, Blair menyapa kedua orang tua yang duduk santai di sofa ruang tamu.
Blair bahkan mencium tangan mereka layaknya bertemu dengan dosen di kampus. Rebecca dan Claude Van Bosch Wijaya tersenyum, kemudian mengusap pelan rambut gadis itu.
“Welcome home,” ucap Rebecca.
“Saya Blair Adijaya, Bu, Pak.”
Claude menganguk. Ia melirik sekilas pada putranya yang berdiri di belakang Blair. “Ed, jangan ngumpet kamu! Sudah saatnya kamu jelaskan semuanya!” katanya tegas.
Blair menundukan kepalanya. Ia juga merasa bingung harus mengatakan apa, karena dosennya itu hanya memintanya untuk mendukung segala ucapannya. Tapi, kalau begini terus, dia merasa serba salah juga.
Blair menarik napas panjang, matanya menatap semua orang secara bergantian. “Saya... Saya_” katanya tanpa sengaja terpotong.
“Aku cinta sama Blair,” ujar Ed.
Rebecca hanya menunjukan senyuman simpulnya. “Adek sayang sama Blair?” tanyanya pelan dengan tatapan yang amat lembut.
Ed merendahkan pandangannya, lalu menganguk sekilas. Pria itu layaknya anak laki-laki yang masih butuh arahan dari orang tua nya dan butuh diajarkan. Blair melihat sisi yang berbeda dari dosennya itu dibalik sikapnya yang tegas dan terkadang perfect.
“Katakan yang keras dan sungguh-sungguh! Papa tidak mendidik kamu menjadi pria yang pengecut! Kamu itu pria usia tiga puluh lima tahun, harus tegas dan bijaksana. Kalau kamu lembek begitu, bagaimana kamu bisa melindungi orang yang kamu sayang?” tegas Claude.
Ed mengangkat wajahnya, “Ed cinta sama Blair,” jujurnya—dari dalam lubuk hatinya yang terdalam.
Claude melangkah maju, menepuk bahu putranya beberapa kali. “Itu baru anak Papa. Lagi pula, Papa tidak akan melarang kamu mencintai wanita mana pun. Justru Papa akhirnya lega, kamu ternyata masih normal.”
“Papa...”
Rebecca menunjukan senyuman penuh wibawa. “Jadi, Baby Nord itu anak kalian?” tanyanya pelan.
“Anak saya, Bu,” jawab Blair secara spontan.
Ed menoleh, “Anak kita, Sayang.”
Pipi Blair bersemu. Diikuti dengan tawa dua orang tua Ed. “Jadi, kamu hamili anak orang?” tanya Claude.
Blair langsung menggeleng, “Bukan. Kami sama-sama menemukannya di depan pintu, tapi sekarang dan seterusnya akan menjadi anak saya.”
Ed menggenggam tangan Blair erat, “Anak kita!” tegasnya.
“Ya elah, Ed, salah nyebut aja nge-gas segala!” komentar Endana.
^_^