“Kanza,” panggil Ed pada pria berperawakan tinggi dengan kulit yang putih.
Bisa dibilang, rekanannya itu dosen paling digemari di Universitas, karena ya tampan. Kalau Ed terkenal dengan semboyan perfect nya, maka Kanza adalah duplikatnya yang jauh lebih manusiawi.
“Eh Ed, kenapa? Pengen nitip makan?” tanyanya ramah.
“Lu mau makan siang?” tanya Ed.
Kanza menganguk, “Iya, sekalian bimbing juga sih.”
“Wah parah! Bimbing apa pacaran? Masa iya bimbing pas makan siang di restoran pula.”
Kanza nyengir, “Mahasiswi nya agak spesial sih. Kalau biasanya mahasiswa yang menyesuaikan jadwal dosen, ini gue yang harus sesuaikan waktu sama itu bocah.”
“Siapa sih emangnya?” tanya Ed penasaran.
Kanza tersenyum sebelum menjawabnya, “Tahu kan Blair Adijaya. Itu loh mahasiswi yang hobinya nulis melulu. Banyak banget tuh dosen yang rebutan dia buat dijadiin anggota untuk beberapa proposal. Blair sih beda dari mahasiswi lain, dia itu bisa jalan di kakinya sendiri, tanpa harus diperintah. Jadi ya tugas kita sebagai dosen setidaknya ringan lah kalau ajak dia gabung.”
Wajah tampan Ed seketika langsung berubah keruh. Apa lagi rekan dosennya itu akan makan siang bersama Blair, dia bahkan yang berada satu atap pun belum pernah makan siang di luar bersama gadis itu.
“Boleh gabung?” tanya Ed.
Kanza menunjukkan jari telunjuknya di udara dengan gerakan yang berarti tidak. “Jangan lah! Kita kan mau discuss bareng, kalau ada elu, gue malah takut dia malah kena serangan jantung.”
“Emang gue apaan?” sewotnya.
“Nanti mahasiswi bimbingan gue dikritik sama elu. Dan ujungnya, dia ogah ikut tim gue lagi!”
Ed menggeleng dengan penuh keyakinan. “Gak mungkin lah kalau gue kritik dia. Kan gue juga satu tim sama dia, sekaligus pacar.”
Kanza menggeleng, “Gak bisa! Kalau elu ikut, gagal dong rencana gue buat pendekatan sama dia!” jujur Kanza pada akhirnya.
Shit! Kenapa sih Kanza harus suka pada Blair? Mengapa bukan orang lain saja yang dia sukai? Apakah Ed harus menggembor-gemborkan kalau ia adalah pacar dari Blair?
“Dia pacar gue, Za!” tegasnya.
Suara tawa membahana di ruangan itu. Kanza tertawa sambil memegangi perutnya yang terasa seperti dikocok berulang kali.
“Tumbenan ngelawak, Ed! Gak lucu sumpah! Edwestwick Wijaya yang gue tahu gak akan pacaran, karena dia benci sama yang namanya komitmen. Terus sekarang, lu bilang pacaran sama Blair, ada-ada aja sih!” komentar Kanza.
Ed memejamkan matanya tak suka. Dia sudah menjelaskan kalau ia dan Blair berpacaran, tapi Kanza tetap tidak mau mundur. Sebenarnya, apa sih yang ada di kepalanya?
“Gue sama dia emang pacaran, Kanza. Perasaan gak percaya banget sama gue! Kalau enggak percaya, tanya aja sama dia.”
Kanza menatap Ed serius, “Lu gak bohong kan? Gue niat loh mau deketin dia. Oh, lu pasti sengaja kan supaya gue gak bisa pendekatan sama dia.”