Blair menunjukan lembaran berisi ide jangka panjang perusahaan yang ia buat kepada Kepala Han selalu panitia Internship Program. Ia menunduk dengan kedua tangan yang tampak bergetar, rasa takut menyelimutinya.
“Oke, akan saya sampaikan kepada Pak Ed. Kebetulan, Pak Ed hanya akan meminta data pengembangan kamu saja, tapi ia tidak akan datang. Yah, mungkin dia agak sibuk dengan beberapa pekerjaan lainnya.”
Blair menganguk sedikit lega. Kepala Han kembali menjelaskan tugas selanjutnya yang harus ia kerjakan, termasuk mengurusi bebarapa hal krusial di perusahaan. Dan untuk pertama kalinya, ia harus berhadapan dengan calon klien.
Melihat mereka saja membuat Blair agak gemetar. Walaupun ia terbiasa menemui dosen atau klien pada perusahaan sebelumnya. Namun, kali ini berbeda baginya, karena ia harus bertemu dengan klien dari perusahaan adiguna yang cukup terkenal di kalangan bisnis.
“Blair, ini Mr. Takada, dia klien kita dari Jepang,” kata Kepala Han memperkenalkannya.
“Saya Blair,” sapanya sopan.
“Senang bisa bertemu dengan Nona Blair,” balasnya.
Mereka bertiga sibuk membicarakan kerjasama lanjutan, berikut dengan klausal tambahan. Kebanyakan, Blair diam saja, karena dia memang tidak begitu memahami isi perjanjian tersebut. Dan pembahasan kerjasama itu berakhir dengan tanda tangan kontrak dari dua belah pihak.
“Kamu belajar sedikit-sedikit tentang pertemuan klien tadi. Saya memang sengaja mengajak kamu untuk belajar.”
“Baik, Pak,”
Blair melepaskan seatbelt di tubuhnya dan sudah siap menggenggam pintu mobil. Tapi ia urung melakukan itu ketika tahu atasannya itu tak berniat keluar dari mobil.
“Kamu masuk ke kantor saja. Saya harus mengurus sesuatu yang penting.”
Blair menganguk, “Baik, Pak. Kalau begitu saya duluan.”
Blair melewati lobi, sambil sesekali melemparkan senyuman sopan kepada beberapa karyawan yang sering makan siang bersamanya. Matanya melirik kedua lift yang saling bersisian di ujung sana—sisanya ada di ujung lainnya, lalu ia tampak berpikir harus mengenakan yang mana. Dengan gerakan yang ragu, ia masuk ke lift yang tampak berbeda.
“Maaf Pak, saya tidak tahu kalau ini lift khusus,” ujarnya ketika melihat Ed berada di dalam lift yang terbuka bersama beberapa ajudannya.
Ed menggerakkan satu tangannya ke udara. Blair menggeser tubuhnya, hendak masuk ke lift sebelah. Tapi, para ajudan yang sebelumnya berada di samping Ed kini keluar satu per satu dengan rapi hingga membuat Blair kebingungan.
“Masuklah!” perintah Ed pada Blair.
“Tapi, saya bisa gunakan lift yang lain,”
Ed berdecak, “Astaga, cepat masuklah!” tegasnya membuat Blair tampak berjingkat.
Ed memberikan lirikan ke para ajudannya, “Kalian tunggu saya kembali!”
“Baik, Pak,”
Pintu lift tertutup dan hanya menyisakan dua orang berbeda jenis kelamin dalam kecanggungan. Blair yang terlihat sungguh tersiksa berada di posisi itu, karena ia sungguh tidak nyaman berada di satu ruangan sejak hubungan mereka berubah menjadi pacaran sungguhan.
“Hah,” desah lega terdengar dari bibir Ed.
Tangan kirinya ia gunakan untuk menarik pinggang gadis itu dari belakang. Sengaja ia letakan dagunya di leher gadis itu yang tertutup kemeja berwarna putih.