Blair menikmati hidangan makan siang di atas meja dengan sedikit terburu-buru. Karena Pak Han baru saja mengabarinya untuk cepat kembali ke perusahaan.
“Gak usah buru-buru gitu!” kata Ed memperingati.
“Ini gawat, Mas! Kalau seperti ini saya gak tahu harus melakukan apa.”
Ed menatap Blair serius, “Ada apa?” tanyanya.
“Ada sesuatu yang harus cepat diselesaikan karena ada tengat waktunya. Gak tahu gimana, tapi memang tengatnya dimajukan.”
“Kamu perlu saya minta kantor untuk undur?” tanyanya.
Blair menggeleng, “Enggak, Mas. Ini klien baru saya loh, saya harus profesional.”
Ed menganguk, “Oke. Saya akan antar kamu ke kantor sekarang ya.”
Blair menganguk singkat. Pria yang kini berstatus pacarnya itu membayar makanan dan ia menunggu di depan mobil dengan cemas. Keduanya sampai di kantor lima belas menit setelahnya. Dan Blair keluar dari mobil dengan terburu-buru tanpa mengatakan apa pun.
Ed menghela napas cukup panjang. Ia melemparkan senyum sekilas ke arah satpam yang ternyata sejak tadi melihatnya. Kemudian, ia mmelajukan mobil meninggalkan tempat itu. Tepat di lampu merah yang letaknya tak jauh dari kantor, sebuah chat masuk ke ponselnya.
Blair Adijaya
Makasih ya, Mas sudah antar saya.
Saya gak terlambat berkat Mas.
Sekarang saya akan masuk ke ruangan meeting.
Mas hati-hati di jalan. Jangan ngebut!
Iya Sayangku
Ed mentertawakan isi chat yang baru saja ia kirimkan. Entahlah, ia hanya merasa dirinya berubah menjadi sedikit gila sejak Blair ada di hidupnya. Bisa dibilang ia menjadi jauh lebih manusiawi—itu pun kata Rebecca, Sang Mama.
“Halo,” terdengar suara wanita di seberang telepon.
Ed tertawa, “Kak, kayaknya aku udah mulai gila deh,”
Wanita yang ditelepon ternyata ialah Endana, Sang Kakak. Wanita itu hanya tertawa. “Udah lama Kakak tahu kalau kamu udah mulai gila.”
“Gak tahu kenapa, aku itu senang banget pas dia kirim chat tadi. Apa itu cinta?” tanya Ed.
“Hmm. Jadi gimana, udah bilang ke orangnya?” tanya Endana.