Ed menyesap kopi di cangkirnya. Bu Rein dan Blair sedang membawa Baby Nord jalan-jalan di dekat rumah. Daerah rumahnya memang sepi, karena kebanyakan dari mereka yang memiliki apartemen ialah pekerja kantoran yang sangat jarang berada di rumah.
Pria itu tersenyum sekali lagi, lalu kembali menyesap kopinya. Sungguh, baginya hari ini menjadi paling bahagia untuknya. Blair bersedia menjadi kekasihnya setelah sekian lama. Padahal, mereka sudah menghabiskan berbulan-bulan untuk bisa mendapatkan jawaban sakral itu.
“Sayang,” panggilnya tepat di depan pintu.
Blair tersenyum sambil menggendong Baby Nord yang kini sudah tambah besar. “Baby, lihat Ayah...” ucapnya seraya mengayunkan tubuh mungil itu.
“Halo Sayangnya Ayah,” panggil Ed sambil mengambil alih bayi itu ke gendongannya.
“Bunda istirahat dulu ya, soalnya Bunda pasti capek.”
Blair masuk ke dalam dan langsung menuang air putih ke dalam gelas. Ia kembali ke ruang tamu dengan gelas di tangannya.
“Mas Ed,” panggilnya.
“Ya Sayang, kenapa?” tanyanya.
“Cuman mau manggil aja sih,” katanya sambil tertawa.
Ed menggeleng, lalu mulai mengecupi tangan mungil bayi di dekapannya. Tak lama setelah itu, Baby Nord tertidur tepat di dadanya sampai membuat pria itu tertawa senang.
“Kita bawa ke kamar saja ya. Kasihan Mas Ed kalau nahan tubuh Baby begitu.”
Keduanya masuk ke kamar Baby Nord. Dengan gerakan yang amat pelan, Ed meletakan bayi itu dengan sangat pelan ke tempat bayi. Setelah menyelimuti tubuh Baby Nord, Ed merangkul bahu Blair keluar dari sana.
“Kok kesini sih, Mas?” tanya Blair ketika Ed membawanya masuk ke kamarnya.
Ed tersenyum, “Kangen sama kamu. Udah dua minggu, kamu ke kantor dan lembur. Walaupun kita bisa ketemu di kampus, tapi tetap saja kurang buat saya.”
Blair mencubit pipi Ed gemas, “Saya lembur juga kan ngurus proposal buat Mas Ed. Di kampus, saya sibuk bimbingan dengan beberapa dosen untuk publikasi ilmiah.”
“Hhhhmmmmm, padahal saya ingin lama-lama bersama kamu. Tapi ya gapapa, toh kita bisa berduaan di kamar ini.”
Ed langsung mendekap tubuh kekasihnya erat. Kecupan demi kecupan mendarat di rambut panjangnya, kemudian melintas ke wajahnya. Hingga ciuman lembut mendarat di kedua pipinya, lalu ke bibirnya lumayan lama.
“Mas...” rengeknya.
“Kenapa? Saya gak boleh cium kamu?” tanyanya.
“Bukan gitu. Saya itu cuman kaget aja, soalnya Mas nya tiba-tiba ngelakuinnya.”
Ed tertawa, “Oke. Kalau gitu, boleh saya cium kamu?” tanyanya.
“Hhhhhmmm,” balasnya singkat.
Ed mendekat, ia kembali mengecup bibir berwarna merah muda itu. Blair yang akhirnya merasakan sentuhan bibir lain di atas bibirnya langsung memejamkan mata, menikmati tiap sentuhan bibir itu yang terasa lembut.
“Hah, akhirnya bisa melepaskan rasa kangen juga,” ujarnya sambil menyatukan dahi keduanya.