Blair membuka matanya ketika sinar matahari masuk ke kamarnya. Ia sedikit mengeliatkan tubuhnya, tapi gerakannya terhenti kala merasakan tangannya yang memberat. Ia pun menoleh dan menemukan Ed yang tertidur dengan posisi kepala berada di atas tempat tidur dalam keadaan duduk, juga tangannya yang terus mengenggam tangan kiri Blair.
Bibir gadis itu tersenyum. Pada tangannya yang bebas, ia gerakkan untuk membelai rambut yang menutupi wajah tampan dosennya itu. Cukup lama ia melakukan itu, tapi akhirnya Sang Pria membuka matanya juga. Tatapannya yang tampak sayu membuat gadis itu tak enak hati, tapi yang membuatnya kesal... mengapa wajahnya tetap saja kelihatan tampan.
“Capek pasti tidur posisi kayak gitu,” komentar Blair.
Ed menganguk, tapi dengan cepat ia tersenyum. “Hhhmm, ada sih cara lain supaya kita sama-sama untung,” ujarnya.
Blair menaikkan sebelah alisnya. “Caranya?” tanyanya.
“Kamu rela berbagi kasur sama saya,” jawabnya.
Sebuah tepukan ia dapatkan di bahu pria itu. Namun, Sang Pacar hanya terkekeh sambil memainkan wajah Blair hingga terlihat lucu. Dengan cepat dikecupnya bibir itu yang dalam posisi menguncup akibat tekanan dari kedua tangannya.
“Bercanda, Sayang,” ucapnya.
Ed merapikan rambut Blair yang berantakan, lalu ia selipkan di belakang telinga dengan sangat rapi. “Apa ada sesuatu yang kamu tutupi dari saya?” tanyanya serius.
Blair dengan cepat menggeleng, “Gak ada. I’m realy fine.”
Suara Ed semakin melembut, “Saya tahu kok. Tapi, rasa cemas kamu itu kelihatan banget.”
Blair diam sebentar, lalu kembali menatap pacarnya itu. “Kemarin, sewaktu saya ada di perpustakaan, saya bertemu seseorang.”
“Siapa?” tanya Ed.
Blair menggeleng, “Entahlah. Saya juga tidak mengenalnya, tapi dia mengenal saya. Dia bilang tidak suka pada saya, karena saya pacaran dengan Mas.”
Wajah serius Ed sedikit berubah. “Kamu diancam sama dia?”
“Enggak gitu juga sih. Tapi, intinya dia gak suka sama saya ya karena pacaran sama Mas. Hhmmm, saya dibilang pakai pelet supaya Mas suka dan mau pacaran sama saya.”
Ed tertawa, “Pelet? Ada juga saya yang maksa kamu buat jadi pacar saya,” ujarnya menahan tawa.
Blair menatap Ed serius, “Saya sebenarnya gak begitu masalah hubungan kita tersebar luas. Tapi, saya hanya takut dengan respon orang-orang tentang hubungan kita.”
Ed mengenggam kedua tangan Blair, “Kenapa harus mikirin pendapat orang sih? Pacaran ya pacaran saja. Apa kita harus pacaran yang diminta mereka, enggak kan?”
Blair memeluk tubuh gagah Ed, sengaja ia sembunyikan wajahnya di dada bidang itu. Ed tersenyum, tangannya yang telah bebas mengelus kepala gadis itu dengan sayang, bahkan sesekali ia memberikan kecupan sayang di ujung kepalanya.
“Permisi Non dan Aden, Bu Rein hanya ingin bilang kalau sarapan sudah siap.”
Ed menoleh dan tertawa kala pacarnya itu lebih dalam masuk ke pelukannya. Ed menganguk ke arah Bu Rein dan kembali tertawa.
“Saya malu,” lirihnya.
“Gak perlu malu, Sayang. Bu Rein juga tahu kalau semalam saya tidur disini. Hhhmm, pasti habis ini Bu Rein cerita deh sama Mama.”