Ed menggengam tangan Blair erat kala gadis itu hendak menjawab pertanyaan Sang Ibu. Pria itu menatap serius ke arah Angga Adijaya seraya tersenyum bijak.
“Kalau begitu, ijinkan saya menikah dengan Blair,” katanya sungguh-sungguh.
Blair menoleh kepada Ed seraya memberi isyarat untuk kalimat yang baru saja pria itu ucapkan. Ed tersenyum, lalu mengangukan kepalanya.
“Kenapa? Kamu masih ragu sama saya?” tanya Ed.
“Gak gitu, Mas. Kita baru mengenal belum lama, dan pernikahan itu dibangun karena saling mencintai dan nyaman. Tapi kita enggak, kita menikah hanya karena tinggal bersama.” Blair menjaskan semuanya kepada Ed dengan menggebu-gebu.
“Saya cinta kamu, Blair.”
Blair memejamkan sepasang matanya. “Cinta gak bisa menjadi pondasi rumah tangga mentah-mentah. Gimana kalau setelah nikah, Mas gak suka sama saya?” tanya Blair.
“Itu gak mungkin, Blair! Kamu tahu kan kalau saya sangat cinta kamu?” tanya Ed kembali.
“Sekarang kamu bisa bilang cinta, Mas. Entah besok atau kapan, gak ada yang tahu.” Blair menunduk dengan suara yang amat rendah.
“Sudah, kita bahas masalah ini nanti setelah makan ya. Blair, ajak Ed ke ruang makan ya!” perintah Bapak, lantas berjalan menuju ruang makan.
Kurang lebih selama setengah jam, mereka menikmati makan siang. Seperti kebiasaan di keluarganya, selama makan tidak diijinkan untuk membuka suara.
^_^
Ed menarik pergelangan tangan Blair yang hendak kabur darinya. Rahayu dan Angga memilih untuk memberi waktu untuk keduanya berbicara. Blair menarik tangannya, lalu memilih untuk memeluk dirinya sendiri.
“Saya itu serius bilang cinta sama kamu,” kata Ed memulai.
Blair diam menunduk, “Saya juga maunya percaya dan yakin, tapi saya gak bisa, Mas. Mas tahu sendiri bagaimana keluarga saya. Kita itu ibarat bumi dan langit.”
Ed mendecak, “Sayang, sejak awal kamu tahu saya orang yang bagaimana. Bahkan, keluarga saya menerima kamu dengan tangan terbuka.”
“Tetap saja, saya gak ingin menutup mata. Mas Ed juga baru pertama kali pacaran sama saya, bagaimana kalau nanti Mas menemukan perempuan lain dan merasakan perasaan yang lain?” tanya Blair lirih.
“Saya memang tidak bisa menjamin perasaan saya sendiri akan tetap sama. Tapi Sayang, pada akhirnya saya akan tetap kembali sama kamu. You are my first and last love.”
Blair menganguk, “Oke, saya akan mencoba untuk berkompromi. Tapi, kalau suatu saat Mas mencintai orang lain, maka saya akan pergi dari hidup Mas selamanya.”
Ed tersenyum, “Kamu pegang janji saya ya, Blair Sayang.”
Pipi Blair bersemu, “Apa sih? Gak cool banget!”