Ed menunggu dengan rasa bosan. Sudah lebih dari setengah ia menunggu, tapi Blair belum keluar juga dari sana. Kalau tahu bila fitting baju membutuhkan waktu yang cukup lama seperti ini, lebih baik ia minta dipilihkan saja. Biar semuanya gampang dan mudah.
“Kalau seperti ini terasa sesak tidak, Mba?” terdengar suara pengepas baju.
“Cukup sepertinya,” balas Blair yang langsung memunculkan senyuman di bibir Ed.
“Sayang,” panggilnya.
“Hhhmmm,” jawab Blair.
“Kamu udah selesai?” tanya Ed mulai tak sabar.
“Saya masih nge-pas baju nih. Gimana jas nya?” tanya Blair dari balik tirai.
“Good. Saya sudah pilih salah satu yang terbaik.” Ed menjelaskan proses fitting nya.
“Good,” komentar Blair membuat Ed jengah.
Terdengar suara tirai yang disibak dan betapa terkejutnya Ed melihat look calon isterinya saat ini. Gadis itu terlihat jauh lebih cantik—padahal hanya menggenakan gaunnya saja, tanpa mengubah make up nya. Melalui pakaian itu seolah-seolah ia sangat menyatu dan pesan dari gaun itu tersampaikan dengan sangat baik.
“You look so pretty, Honey.” Ed memujinya tanpa melepas pandangannya.
Pria itu berjalan mendekat dan langsung mencuri ciuman di bibir gadis itu hingga membuat decakan dari beberapa pengepas baju yang ada di sana.
“Malu, Mas! Itu dilihatin Mba nya!” peringat Blair tak enak.
“Gapapa, Sayang. Mba nya juga paham kok.”
Blair menutup wajah nya dengan telapak tangan. Beberapa orang disana tertawa melihat tingkah laku keduanya.
“Gimana?” Blair kembali bertanya.
Ed tertawa, “Kayaknya, kamu pakai apapun juga cantik ya.”
Selesai melakukan fitting baju, mereka makan siang di tempat makan yang tidak jauh dari sana. Selama itu pula, mereka membicarakan banyak hal, termasuk tentang rencana pernikahan mereka yang hanya hitungan bulan.
“Sayang, kamu mau undang teman-teman kamu di acara lamaran kita?” tanya Ed.
Blair menggeleng, “Saya gak punya banyak teman, Mas. Yah, mungkin hanya beberapa orang saja.”
“Tapi kalau kamu mau undang satu kampus juga gapapa kok.”