Blair menunduk, mencurahkan air matanya yang sejak tadi menetes. Ketiga kalinya ia merasakan luka di hatinya karena satu alasan bernama cinta. Pertama dengan dosennya sendiri, lalu Ed yang juga dosennya sendiri, lalu yang terakhir dengan Frans. Sebenarnya, apa yang salah dalam dirinya, apakah dia memang tidak cocok dengan pengajar atau dia yang bermasalah.
“Bunda,” panggilan lembut itu membuatnya dengan cepat menghapus air matanya.
“Hai Nord...”
“Bunda habis nangis? Siapa yang buat Bunda nangis kayak gini?” tanyanya tanpa henti.
Blair menggeleng, “Enggak, Sayang...bunda gak nangis kok.”
“Nord gak akan mau main sama orang itu kalau dia buat Bunda nangis!”
Blair menggeleng, “Nord Sayang, gak ada yang buat Bunda nangis kok. Cuman Bunda aja yang mau nangis, soalnya Bunda bisa lihat kamu udah tumbuh menjadi anak yang baik. Bunda love you so much ...”
“I love you too, Bunda.”
Blair kembali menangis dan langsung memeluk tubuh putranya. Dia jadi memikirkan banyak hal, kalau saja Nord tidak ada di sisinya...ia mungkin akan kembali terpuruk seperti dulu.
^_^
Rebecca tampak mengobrol dengan Rahayu yang kini sedang memangku Nord. Kedua wanita itu memang tetap akrab walaupun anak mereka tidak saling berjodoh, lagipula Rebecca memiliki sifat yang baik.
“Nenek...” panggil Nord pada Rahayu.
“Iya Sayang,”
Nord menunjukan kedipan matanya yang lucu, “Kemarin, Nord lihat Bunda nangis. Tapi waktu Nord tanya, Bunda bilang Bunda gak nangis.”
Rahayu melebarkan matanya, “Bunda nangis?” tanyanya seraya melirik Rebecca seolah bertanya.
“Tenang, nanti coba aku suruh Endana tanya ya. Kayaknya dia lagi bareng sama Blair di belakang.”
Di lain tempat, Endana sedang menyesap orange juice nya sambil melihat langit yang tampak cerah. Di sampingnya, Blair duduk bersila sambil menatap arah yang sama dengan Endana.
“Belum mau cerita nih?” tanya Endana.
Blair menggeleng, “Mas Frans minta putus,” ujarnya lirih.
Endana langsung berjingkat. Sejujurnya ada setitik rasa senang ketika mendengar kabar itu, karena itu artinya adiknya masih memiliki kesempatan. Tapi kalau melihat ekspresi Blair yang terluka, Endana tak suka.
“Why?” tanyanya ingin tahu.
Blair menggeleng, “I don’t know. Yah, mungkin ada yang salah dalam diri aku. Bisa jadi karena sifat aku atau karena aku terlalu sibuk.”
“Enggak, Blair! Sejak awal kan Frans tahu kalau kamu memang pekerja keras, belum lagi posisi kamu yang sedang terpukul. Harusnya dia mengerti, bukan malah minta putus sama kamu.”
Blair menatap Endana, “Dia bilang, hatiku belum sepenuhnya untuk dia.”
“Maaf Blair, Kakak mau tanya hal ini serius dan kamu harus jawab ini dengan jujur. Apa kamu masih mencintai Ed?” tanyanya.
“Kak Endana...”
“Jawab aja, Blair!”
“Aku masih suka. Tapi ya untuk apa? Hati Pak Ed juga bercabang kan, karena itu kita gak berjodoh. Dan aku gak mau mengulang luka yang sama.”
“Blair, Ed itu cinta sama kamu, sangat cinta. Waktu itu dia hanya bingung dan terkecoh oleh keadaan yang mengharuskan dia bertemu wanita itu!”
“Kayaknya aku akan tetap sendiri, karena aku terlalu lelah bila menjalin hubungan, tapi berakhir pisah.”
“Blair, udah cukup lama ya kamu uring-uringan karena Frans. Kamu sering nangis, murung, gak napsu makan. Ayolah move on! Ibaratnya gini ya Blair, kemarin boleh deh sedih karena putus, tapi sekarang saatnya kita hidup bahagia baik itu dengan atau tanpa orang baru.”
“Benar juga ya Kak, lagian udah lama juga aku gak belanja.”
“Ya udah, belanja yuk!”
Blair mencoba pakaian yang dipilihkan oleh Endana. Mereka hanya pergi berdua saja, Nord dijaga oleh nenek-neneknya.
“Ini bagus gak?” tanya Blair sambil memutar tubuhnya.