BACK: Nice To Meet You

xwxswag2000
Chapter #1

Ketukan Hati Upik Abu I

Sentani, 17 Mei 2022 ....

Kaki langit menampakkan terang. Matahari membuka matanya lebar di atas bibir Gunung Cyclop yang membiru meneteskan hijau. Sudut-sudut Kota Sentani digetarkan oleh pijakan kaki dan roda. 

Pepy membuka pintu. Seabad sudah bangunan lawas itu berdiri. Terkilas siluet tumbuh kembang dirinya yang sejak lahir dan besar di penghujung timur bumi Khatulistiwa. Kurang 15 inci lagi kepalanya menyentuh ventilasi namun belum terbesit kapan akan menginjakkan kaki di tanah kampung halamannya Ibu Kota Jakarta. Mengetahui udara yang dihirupnya sejak lahir adalah kehidupannya selama lebih dari 15 tahun mendekam di perantauan.

Dua jengkal membuka papan jati, alih pandang Pepy tertuju pada seorang pria yang tengah duduk bagus di teras. Terlalu pagi untuk seseorang hendak membeli bunga atau sekedar meminta sumbangan. Digelengkan kepalanya mencoba mengabaikan pria tersebut. Biarkan anj*ng tidur berbaring, artinya tinggalkan orang yang menimbulkan masalah di masa depan.

“Bisa kau berikan bunga untukku?” Pria yang sedari tadi menunduk mulai mengangkat wajahnya. Rambutnya terberai menutupi alis tebalnya dengan wajah samar mulai tampak putih pucat.

I don’t know what kind of your favorite blossom,” [Saya tidak tahu jenis bunga kesukaan Anda] jawab Pepy dengan logat british yang selalu dijejalkan setiap menemui orang yang mencurigakan.

Well ... so I have to go in.” [Yah ... jadi saya harus masuk].

WHAT? NO! Maksudku yes.” Pepy melengos, sekilas menatap sepasang mata biru dan wajahnya langsung dihadapkan dengan rasa malu. Pantas saja.

Sebuah ruang kecil dihiasi tampilan warna-warni pita pengikat rangkaian bunga. Lima lembar kaca besar tersusun vertikal membias cahaya redup penggertak bulir debu yang menyatu bersama udara saat dibuka korden bambu penutup jendela. Sosoknya melangkah pelan-pelan, menatap erat sebuah keranjang berisikan mawar lesu berwarna coklat. Letaknya sedikit lebih tinggi pada rak barisan keenam.

Jangan-jangan bunga yang .... Lapang pandang Pepy tertuju pada pria tadi meski bola matanya menatap sekeranjang bunga di depannya. Stay cool … pasti salah lihat. Iama ia memejamkan mata sampai dimantapkan hatinya melihat dengan jelas.

Sempat senyap sejenak, pria itu kemudian menjulurkan kedua lengannya mengarah ke atas berharap dapat digapai apa yang diinginkannya. 

Dia benar-benar akan mengambilnya? Pakek kursi! Demi Dora dan But rasakan telepatiku, itu tepat di sampingmu. Jauh dari tujuan saat batas telunjuk jari tangannya mentok pada rak baris kelima membuat ia berusaha lebih keras, meluruskan telapak kaki hingga bertumpu pada ibu jari kakinya. Tidak tahan dengan hal konyol di depannya, Pepy pun datang menghampiri. Mengangkat sebuah kursi yang tidak jauh dari tempat pria itu berdiri.

“Biar aku yang naik,” ujar pria itu saat setelah salah satu kaki Pepy mengancang-ancang. Tangannya dikibaskan tanpa memandang sebab sibuk menyisir kuat keinginan. Ujung jarinya memilah rapi hingga kelimanya menjepit erat setangkai mawar coklat dengan mahkota bunga yang masih utuh.

“Yakin?” tanya Pepy sedikit dongkol sementara membereskan bunga-bunga segar.

Of course. And I didn't have to give expensive sheet.” [Tentu. Dan saya tidak harus memberikan kertas mahal] Pria itu melangkahkan kakinya meninggalkan kedai berpapasan dengan seorang wanita paruh baya yang melambai-lambaikan kedua tangannya sambil berjalan mendekati Pepy.

“WOI, PEPY!” seru wanita itu untuk kedua hingga ketiga kalinya sampai harus mengadukan telapak tangan.

“Lapisan ozonnya mulai tipis nih,” ujarnya selagi berusaha menarik Pepy keluar dari renungan panjang.

Pepy yang mematung oleh lamunan lalu mengedipkan kelopak matanya. “Daku salah dalam berbicara menghadapi seorang pria, sebut saja Mawar. Kemudian daku berikan ia bunga, analisaku saja atau memang nuansa romantisnya terbalik? Jadi, tebalnya satu banding dua ribu lah. Soalnya kalau cuma seribu masih bisa dilihat dari lobang pipet,” cibir Pepy memalingkan wajah.

Wanita itu tersenyum karib sambil bergerak menjamah berbagai bunga di dalam ruang tersebut. Ia adalah Igy, teman lekat ibunya sebagai sesama jurnalis yang bertemu saat setelah pindah agensi. Mereka kerap keluar kota dan mampir dalam selang waktu singkat untuk menyapa.

“Di mana ibumu?” tanya Igy sambil menyerahkan bunga pilihannya untuk dirangkai.

Lihat selengkapnya