Dan saat embun masih berbekas pada ranting yang berayun, hujan semalam bertitah, menuntut awan sembunyikan pagi. Kicau burung malas pun mengibaskan sayap, mendekam di sarangnya menunggu langit tertikam cahaya.
Sentani, 27 Mei 2022 ....
Samar terdengar langkah kaki semakin jelas. Pepy yang bangkit dari tidur mulai menjulurkan sendi lengannya. Tampak remang-remang seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya sedang mencoba membuka pintu mencoba keluar.
“Mama datang saat aku tidur?" usutnya selagi membenarkan pandangan yang masih kabur. Ia berpikir, mungkin tidak sengaja lengannya menekan pelupuk saat ia tengah tertidur. Pepy lanjut bertanya, "Adakah yang datang selain Mama?” Kedua telapak tangan kemudian saling mengadu gosok setelah dirasa temperatur permukaan kulitnya lebih rendah daripada meja tempatnya menyandarkan kepala.
“Pakaian yang bagus. Menunggu seseorang?” tanya ibunya.
Diperhatikan kembali gaun yang sedang ia gunakan. Urung membenahkan rambut dan make-up. Hatinya terusik. Ibunya mengatakan seolah-olah ia tidak pernah berencana datang menemui Pepy. “Sepertinya ... dia tidak datang.”
“Bertanya kapan aku datang, kamu sudah tidur, sekitar pukul sebelas. Mama berangkat sekarang, hampir terlambat.” Jarinya bergerak mengetuk alroji yang melingkar pada pergelangan tangan.
Fokus Pepy bukan pada jam tangan. Yang ia perhatikan sekarang tonjolan tulang dan pembuluh darah. Dipandangi ibunya saat mencoba membuat alibi untuk segera pergi. Sudut bibir Mama menampakkan beberapa lipatan, membuat garis permanen pada pipinya yang mulai mengendur setahun belakangan ini. Diingat kembali usaha orang tua satu-satunya itu setelah selama ini bekerja tiap hari tanpa henti.
Ingin Pepy berbincang sedikit lebih lama. “Mengapa tidak pulang ke rumah?” usutnya. Sekalipun samar, Pepy masih dapat melihat wanita tua itu kini tengah menunggu kalimat sampai jumpa yang bisa keluar kapan saja dari mulutnya.
“Sudah ke sana, tapi kamunya nggak ada. Mama khawatir dan langsung kemari.”
“Setidaknya katakan jangan lupa sarapan.”
“Kamu sudah dewasa. Tidak perlu mengatakannya, bukan? Jadi … jangan lupa sarapan,” ucapnya buru-buru sebelum meninggalkan tempat.
Dalam sunyi tampak sebuah jaket menggantung pada sandaran kursi. “Nggak bakal lupa, soalnya itu udah jadi aturan suku setelah ritual kedewasaan.”
Beberapa keranjang mulai memiliki sela kosong. Ditatap arah kaki yang kini telanjang dengan plester dino melentuk hampir terlepas dari tumit. Bergegas ia lakukan aktivitas lazimnya. Selamat tinggal kerja kerasku untuk seminggu penuh kemarin. Mulai sekarang dan untuk beberapa waktu yang akan datang, gencatan perasaan dideklarasikan.
“Delapan, Sembilan ...,” hitung Pepy memegang erat gunting deluxe. Dengan mudahnya ia potong serat tangkai bunga matahari.
Pagi ini cuaca tidak bersahabat. Angin kencang tidak berhenti berhembus. Mendorong tubuh Pepy hingga sesekali ia harus jatuh berjongkok, sekarang sudah keempat kalinya. Ah ... benar, atap seng di toko bunga akan bergoyang sebab kehilangan paku yang menahannya.
“Pepy! Ada kelapa muda ko (003) mau kah tidaak?” panggil seorang wanita bernada tinggi. Ia langsung mengenali dua sosok yang berdiri di bawah pohon kelapa berjarak dua petak dari kebun di sebelahnya.
“Satu berapa Mamaa?” balas teriak Pepy memaksa pita suaranya hingga menciptakan batuk yang menjadi-jadi. Ia memang tidak bisa menang jika harus beradu jeritan dengan mama Ester. Mereka saling kenal sejak kakeknya membawa Pepy kecil memetik bunga.
“Pepy kan su (004) sering bantu angkat kelapa naik gerobak. Jadi kita jual seribu saja buat Pepy. Apele! Muda tapi da (005) pu (006) daging tebal,” ucap suaminya berlari menghampiri dengan menenteng sebuah kelapa muda. Cukup sekilas dilihat, mulus kulitnya hijau segar.
Pepy merogoh saku celana yang ia kenakan. Beberapa sudah memiliki lubang, kelima jarinya bahkan bisa melewati bolongannya. Seingat Pepy, tadi sebelum berangkat. Satu dari empat saku miliknya mempunyai massa.
“Om Jery, sa (007) ada uang tapi nanti bawa turun bukit bagaimana?” ujar Pepy setelah ditemukannya selembar kertas gepeng. Tidak diingat kapan terakhir kali kertas itu ia masukkan. Yang jelas, celana yang dipakainya saat ini sudah seringkali ia cuci.
“Ambil satu saja tra (008) papa, nanti sa kasih sisa da pu tangkai buat pegang.”
“Tidak! Sa beli dua buat sa minum sekarang.”
“Begitu kah dari tadi. Ko teriak-teriak jadi ko haus to?” Pria itu menepuk punggung Pepy yang tampak sibuk memperbaiki tenggorokannya.
Dari balik potongan berpuluh-puluh tangkai bunga langsung terlihat sebuah kelapa muda sudah memiliki lubang. Di bawah nyiur yang melambai-lambai, ia merasa sedang menikmati waktu holiday-nya di Hawai. Ya inilah Hawainya Indonesia paling timur.