Sentani, 27 Mei 2022 ....
“Pepy, kau baik-baik saja?” tanya seorang pria berusaha menyingkirkan kerumunan wartawan yang berdesakan dengannya.
Pepy hanya terus berjalan. Melepas bebaskan lengan pria itu ketika menyentuh pundak sebab tidak ingin ia panjang lebar menjelaskan bagaimana kondisi batinnya sekarang. Pepy yakin perubahan tingkah lakunya akan segera disadari. Berharap semoga langkah kakinya tidak berubah tersendat oleh orang yang mencoba menghalangi.
“Jun, bisa bantu aku bawakan ini? Kau mendengarkanku?” Igy memperlihatkan seikat besar bunga.
Aah, benar. Aku Jun sekarang. Cepat-cepat diterima bunga itu. “Elise! Aku akan segera kembali!” serunya keras kepada sang adik.
Cukup lama ia mengikuti langkah Pepy. Tahu-tahu sudah berada di teras toko bunga. Berjalan di belakangnya, berjaga bila wanita di depannya akan tanpa sengaja terjatuh.
“Pepy, tenanglah! Kumohon berhenti sebentar.” Disentuh lengan Pepy saat hendak membuka pintu kamar atas toko bunga. “Bersihkan tubuhmu terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam kamar, kau beruntung tidak terpeleset saat melewati tangga,” lanjutnya.
Pepy menatap sosok yang masih membawa bunga-bunganya itu. Mata mereka saling bertukar pandang saat orang yang ditatapnya menatap balik. Cepat-cepat Pepy membuang wajah ke sembarang tempat. “Jun, taruh bunganya ke dalam keranjang kosong di bawah.”
Dilepaskan tangan yang mencengkram lengan. “Jalanmu terlalu cepat, jadi aku tidak sempat menaruhnya.”
Pepy sadar, genggaman yang menahan lengannya melonggar. Gak peduli, aku mau tepar kek, mau jungkir balik kek. Segera ia buka pintu kamarnya. Dirubuhkan tubuh tengkurap di atas kasur yang empuk.
“Sangat sulit kamu membersihkannya nanti,” tutur Neo ikut duduk di atas kasur lalu melirik Pepy yang masih menyembunyikan wajahnya di atas bantal. “Ehm! Waktu itu aku telat datang, jalanan terlalu licin. Ada kecelakaan kecil, maaf aku tidak sempat membaca pesanmu.” Menjelaskan panjang lebar, namun wajahnya berada di balik ikatan bunga yang belum sempat disisihkan.
“Kau baik-baik saja, kan? Maksudku ... hari itu kamu datang?” Khawatir, Pepy mulai menunjukkan wajahnya hingga tampak kelopak mata yang sembab.
“Aku juga mengambil foto. Lihat! Kamu tertidur seperti beruang kecil yang hidup di Australia.”
“Itu jaketmu?”
“Itu kupakai jadi itu jaketku. Mmm … kau menggantungnya di sana.”
Pepy, "...."
“Kenapa baru bilang! Darahku sudah naik sampai mata!” Pepy memekik keras setelah sorot matanya mengarah pada jendela kamar toko bunganya.
Saat ini lubuk hatinya terasa mirip adonan nastar yang dimikser, campur aduk. Senang atau tidak ia juga tidak tahu. Dikira jaket itu pemberian dari ibunya. Ia lalu beranjak dari kasur dan berjalan menarik handuk yang menggantung di belakang pintu.