Sentani, 29 Mei 2022 ....
"Apa kau gila? Kemana saja semalam? Membuat Ayah malu!" berang pria itu dengan sungut kesal. Tubuhnya, yang kuat dan masih gagah untuk umurnya yang memasuki kepala lima, meski sering kali memerlukan pijatan tangan dari istrinya ketika tiba rasa linu pada bahunya.
"Sayang, tenanglah sedikit, perhatikan kesehatanmu."
Mustahil mengatakan aku tidur di rumah kakakku. Tidak mungkin pula Rhyneo menutup telinga dari apa yang diteriakkan oleh ayahnya. Biar berpura-pura tidak mendengar juga ia tetap bisa mendengarnya. Dia malah bertanya-tanya pada diri sendiri, Apakah nantinya aku bisa puas atas kebahagiaan orang lain? Ia terpaku menatap ayahnya yang masih terbakar dengan amarah. Rhyneo tidak bisa mengkhianati perasaannya.
"Dia sudah dewasa, akan kuberikan dia pelajaran!" ujar ayahnya tidak peduli.
"Ayah, aku tidak cinta padanya."
"Apa kau bilang?"
"Aku tida-" Seketika noda merah mengotori kemejanya. Tetesan demi tetesan merembes keluar dari hidungnya. Perkara sebuah kepalan yang sejak tadi tertahan sudah melayang, Neo mengubur kalimatnya dalam-dalam.
"Cinta? Biar kukatakan lagi. Kau akan menikah dengannya! Titik!" titahnya memaksa lima belas ruas jari Rhyneo memegang kotak cincin sebelum berbalik dengan dengusan kesal.
"Berfikirlah lebih dewasa," protes sang ibu sebelum pergi menyusul suaminya yang menggebu-gebu.
Mendapatkan peti merah sebagai jawaban dari pertanyaan hatinya. Tangan itu meremas, namun tak ada yang hancur. Peti itu hanya memberi luka, menjaga apa yang tersirat di dalamnya.
"Kakak, tanganmu ...." Elise yang khawatir langsung melepaskan kotak cincin yang tergenggam erat oleh jemari kakaknya. tampak sudut-sudutnya mengecap darah dari tangan sebelumnya.
***
Udara kering melintasi aspal yang berlubang. Diselingi hiruk-pikuk pedagang keliling yang menawarkan tisu dan air mineral, ibu tua yang bersandar pada tiang penyangga, pegawai swasta, kerumunan pelajar, dan seekor kucing yang sedang mengorek tempat sampah.
"Janji, kan?"
Berat hati Pepy melepaskan sahabatnya itu, yang artinya mereka akan jarang bertemu kembali. Ia ngambek berjam-jam. Sampai pada akhirnya Jasmin pun menyanggupi bahwa selama liburan terakhir dirinya akan sering-sering datang untuk berkunjung. Begitu kata Jasmin berusaha meloloskan kaki yang sebelumnya ditahan oleh Pepy.
"Jaga diri baik-baik," pesan Jasmin menaiki taksi.
Pagi itu Pepy berdiri di tepi jalan raya. Sedikitpun tidak terganggu oleh hiruk-pikuk kerumunan yang memasuki kendaraan umum di dekatnya, menetap di tempat ia berdiri sampai kendaraan roda empat itu tidak lagi terlihat.
Karena apa? Pandangannya tidak lepas mengamati pria dengan jaket hitam polos yang pernah menjadi selimut penghangat tubuhnya. Kemana dia pagi-pagi sekali? Pepy berpikir untuk terus mengikutinya sambil mengendap-endap dari kejauhan.
Sosok itu berhenti tidak jauh darinya, sempat gugup, berpikir bahwa waktunya terlalu cepat untuk seseorang yang pada akhirnya menyadari bahwa dirinya sedang dibuntuti. Jeda sesaat, semakin ramai orang mengerumuni sosok itu. Sialan! Dia akan berkelahi lagi.
"Neo! Apa yang sedang kau lakukan di sini!" teriaknya berlari mendekati punggung yang membelakangi.
Batu? Tubuh kecilnya oleng hingga tersungkur. Bukan itu sebab utamanya. Saat punggung itu berbalik, ia yakin tidak mengenalinya.
"Kakak, siapa yang kau panggil tadi?" ucap pria itu berdiri tegap disaat Pepy harus menempelkan kedua lengannya di tanah.
"Tidak ada, kukira seseorang yang kukenal," sahut Pepy melihat wajah penuh tindikan, Pepy tidak peduli. Setelah bangkit, ia hanya harus bergegas untuk merapikan diri.