Back to 16

Lina A. Karolin
Chapter #1

Bab 1

 Namanya adalah Jonah Revolusi Satria Pratama Katarinus Maximillian Ardianto. Pemuda yang sekarang duduk di kelas yang sama denganku.

 Aku langsung menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak, aku tidak mengenalnya dan aku tidak tahu siapa namanya.

Aku buru-buru melangkah keluar dari ruangan, berusaha tidak terlihat.

“Andrea!” teriak Ibu Tatik dari depan kelas.

Sial, kupikir guru itu tidak akan meyeadari kepergianku. Aku berbalik dan memasang senyum paling lebar. Sekarang semua mata tertuju padaku.

“Iya Bu?” kataku dengan nada sepolos mungkin.

“Mau ke mana kamu?” Wali kelas kami itu menatapku dengan mata elangnya, sementara tangannya mencengkram spidol yang barusan ia gunakan untuk menulis di papan tulis. Aku membayangkan spidol itu dapat melayang ke jidatku kapan saja.

“Mau ke WC Bu.” Masih dengan cengiran lebar.

“Ke WC ngapain bawa-bawa tas?”

“Hehe….” Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Anu Bu, ini bukan kelas saya ternyata. Saya salah kelas.”

Ibu Tatik menyipitkan mata. “Salah kelas?”

“Iya Bu.” Aku mengangguk seperti seorang pembantu yang sedang berusaha mencuri hati tuannya. “Saya jurusan IPS.”

Ibu Tatik mengangkat salah satu alisnya lalu mengambil daftar hadir dari atas meja dan membacanya. “Lalu Andrea Maharati itu siapa?”

Aku meneguk liur. Sekak mat. “Hehe…. Itu saya Bu.”

“Sekarang, kembali ke tempat dudukmu.” Suaranya tajam dan tak bisa ditawar-tawar lagi.

“I… iya Bu.” Dengan terpaksa aku kembali ke tempat duduk. Satu-satunya kursi kosong yang tersisa berada di pojok paling belakang, tepat di samping kursi anak laki-laki bernisial tujuh huruf itu.

Teman-teman sekelasku yang hampir semuanya tidak kukenal menatapku dengan jengkel. Yeah, aku mengerti tatapan seperti itu, tapi sekarang aku tidak terlalu peduli. Memangnya salahku kalau aku ingin menyelamatkan masa depanku.

Aku menghempaskan pantat di atas kursi kayu itu yang segera kusesali. Rasa sakit di bokong membuatku meringis.

“Rasain.”

Terdengar desisan menjengkelkan dari sampingku. Aku menoleh dan bertatapan langsung dengan pemuda tengil itu, yang menatapku dengan cengiran paling menyebalkan yang pernah aku lihat. Cih, pagi-pagi gini dia sudah membuatku naik darah.

***

“Tidak bisa Andrea,” kata Ibu Tatik tanpa mengangkat wajahnya dari lembar kerja siswa yang sedang ia perikasa.

“Ayolah Bu, masa saya tidak bisa pindah jurusan. Ini kan baru sehari, saya masih bisa berubah pikiran kan.”

Lihat selengkapnya