Back to 16

Lina A. Karolin
Chapter #2

Bab 2

“Brengsek!” kataku sambil terus menggosok bibir dengan air dari keran yang menyala di kamar mandi siswi. Berharap bahwa air dingin itu mampu menghapus jejak bibirnya dari bibirku dan menghilangkan perasaan jijik yang aku rasakan. “Jonah Revolusi Satria Pratama Katarinus Maximillian Ardianto adalah pemuda paling brengsek yang pernah ada di muka bumi.”

Seketika aku terhenti. Sial, kenapa nama sepanjang itu bisa terpatri di kepalaku begitu jelas. Aku tidak mengenalnya dan aku tidak tahu siapa nama panjang pemuda tengil sialan itu. Aku mendengus dan mematikan keran dengan hentakan keras yang hanya menyakiti tanganku. “Kurang ajar, lihat saja nanti. Akan aku buat perhitungan.”

“Kamu sudah nggak waras ya.” Dua anak perempuan dengan rok super mini berdiri di depan pintu toilet dan menatapku dengan tampang remaja menyebalkan. Sok berkuasa.

“Siang-siang bolong gini ngomong sendirian,” kata salah satu dari mereka yang memiliki payudara yang cukup besar. Sejenak aku merasa iri pada payudaranya, tiba-tiba merasa payudaraku sendiri jauh lebih kecil, tapi segera menepis pikiran aneh itu.

Aku memelototi dua gadis sok berkuasa itu dan berjalan ke arah mereka. “Minggir, aku mau lewat.” Dengan sengaja aku menabrak bahu keduanya dengan keras.

“Cih, belagu banget sih,” kata salah satu cewek berambut super lurus itu dengan kesal.

Aku berbalik lalu mengangkat salah satu telapak tanganku ke depan wajah keduanya. “Talk to my hand!” Lalu mengibaskan rambut dan berlalu. Seperti yang kukatakan sebelumnya, jika ini adalah mimpi maka aku akan membuat misiku berhasil sebelum aku terbangun. Salah satunya adalah menunjukan kepada semua anak di sekolah ini bahwa mereka tidak akan bisa memperlakukanku dengan semena-mena.

***

“Nggak, aku nggak mau pindah,” kata anak laki-laki yang belakangan aku baru tahu namanya sebagai Taufikurrahman alias Taufik. Tertera di name tage yang terjahit di dada kanan seragamnya.

“Masa sama cewek nggak mau ngalah sih,” kataku sambil mengedipkan mata, berusaha menggodanya yang hanya dibalas dengan tatapan aneh. Seolah aku adalah makhluk asing. Apaan sih ini cowok, masa gak terpengaruh dengan pesona mata almondku.

“Nggak,” katanya galak dan membuang muka.

“Ih dasar nggak gentleman,” rutukku. Gila ya, kalau bukan karena si pemuda berinisial tujuh huruf itu, aku juga tidak akan mau merengek-rengek begini, apalagi sampai harus main mata. Najis. Lagian, ini anak-anak di sekolah kenapa sih pada perhitungan. Selama ini aku ke mana aja ya, kok bisa baru nyadar keadan sekitar dan terjebak satu meja dengan cowok brengsek itu.

Lihat selengkapnya