Back to 16

Lina A. Karolin
Chapter #3

Bab 3

Aku berlari-lari kecil di sepanjang lorong menuju ruang kepala sekolah dengan penuh kebanggaan. Kuhirup napas dalam-dalam untuk menikmati udara pagi yang segar itu. Ah, aku seolah dapat membaui aroma kebebasanku yang akan segera terjadi sebentar lagi.

Kuketuk pintu berpernis cokelat itu sambil menahan api semangat yang berkobar di dadaku. Biar tau rasa kau Jonah tengil. Habis kau kali ini, batinku riang. Pemikiran tentang terdepaknya laki-laki kurang ajar itu dari sekolah ini membuatku hampir terkikik senang, tapi buru-buru kukendalikan perasaanku dan bersikap senormal mungkin. Kutengok kiri dan kanan, aman. Setidaknya tidak banyak siswa yang memperhatikan kegembiraanku yang agak meluap pagi ini. Tidak ada yang boleh curiga sampai aku mengeksekusi rencanaku.

Aku mengetuk lagi, kali ini dengan lebih nyaring. Ke mana sih si kepala sekolah. Aku sengaja datang pagi-pagi begini untuk melaporkan penemuanku yang mutakhir.

"Nyari siapa dek?" kata penjaga sekolah sekaligus OB itu mengaggetkanku. Ia baru saja keluar dari ruang TU yang bersebelahan dengan ruang kepsek. Aku terlalu antusias dengan rekaman merokok itu hingga tak menyadari keberadaan pria bertubuh mungil itu, yang sedari tadi menyapu ruang TU.

Ingin kujawab, 'siapa lagi kalau bukan kepsek, situ gak liat apa aku lagi ngetuk ruangan kepsek'. Tapi alih-alih melontarkan ketidaksopananku, aku menjawab, "Pak Kepsek udah datang belum pak?"

"Oh... Nyari Pak Suhardi toh," katanya dengan logat Jawa yang kental. "Beliau belum datang dek, mungkin jam 9an lewat nanti baru datang."

"Yah." Aku menghela napas kecewa, padahal aku sudah excited begini, si kepsek malah telat ngantor. "Oke deh pak. Makasih infonya," kataku sambil berlalu tanpa menunggu jawabannya.

Kubaharui lagi semangatku. "Tenang Andrea, masih ada waktu," kataku pada diri sendiri. "Jam istirahat masih ada. Lagi pula kamu mungkin bisa mengumpulkan lebih banyak barang bukti." Dengan langkah ringan aku naik ke lantai dua menuju kelasku.

"Ngapain kamu pagi-pagi udah nyari kepsek?" Terdengar suara serak dari balik tiang yang berhasil membuat jantungku nyaris copot.

"Sialan!" sergahku sambil menatap anak laki-laki berinisial tujuh huruf itu. "Sengaja ya mau bikin aku jantungan!" Ngapain sih si Jonah pagi-pagi begini sudah ada di sekolah. Tumben.

"Cih, salah sendiri melamun."

Kubalas perkataannya dengan tatapan penuh kebencian, lalu segera melangkah pergi.

"Hey! Kamu belum jawab pertanyaanku." Jonah menarik sikuku dan membuatku hampir menubruk tubuhnya yang jujur aja sangat tinggi, dan tegap, dan walaupun tidak kekar tapi berotot. Hampir kupukul kepalaku gara-gara berpikiran kalau Jonah itu macho.

"Bukan urusanmu," desisku di depan wajahnya.

"Ih dekat amat mukanya, mau kucium lagi ya," katanya sambil nyengir jail.

"Najis!" Aku berusaha menarik sikuku yang masih dicengkramnya. Telapak tangannya terasa besar dan hangat, dan kasar. Astaga Andrea, apaan sih.

"Kamu segitu bencinya ya sama aku?" Jonah mengamati wajahku. Untuk sesaat wajahnya yang kecokelatan terbakar matahari terlihat serius.

Lihat selengkapnya