Back to 16

Lina A. Karolin
Chapter #4

Bab 4

Dengan kesal aku menyikat lantai kamar mandi sekolah yang bau dan lembab itu. Air sabun terpercik ke mana-mana bahkan membasahi sepatu sekolahku.

"Santai aja dong nyikatnya," kata Jonah yang sekarang menggosok dinding keramik kamar mandi dengan kesungguhan yang mengagumkan.

"Bodo amat," jawabku galak sambil terus menyikat lantai keramik berwana hijau dengan pola bunga-bunga itu. Kekesalanku semakin memuncak. Mengapa setiap kali aku ingin menjauhkan diri sejauh-sejauhnya dari orang ini, aku selalu berakhir menghabiskan waktu bersamanya. Aku sama sekali tak ingin berurusan dengan seorang Jonah Revolusi Satria Pratama Katarinus Maximillian Ardianto, tapi sekarang aku malah dihukum membersihkan WC bersmanya. Lebih parah lagi nama sepanjang rel kereta api itu nongol di kepalaku dengan lengkap dan detail. Aaargh.

Ini semua salah Jonah, jika dia tidak berulah, kami tidak akan dihukum begini. Aku seharusnya sudah di kantor Pak Suhardi sekarang dan barang bukti itu pasti sudah ada di tangan pak kepsek. Jonah akan menerima hukuman.

"Kamu kenapa sih?" kata Jonah. "Aku salah apa sampai kamu benci sekali padaku."

"Banyak!" tukasku. Aku menyikat lantai itu dengan kesal sambil membayangkan bahwa lantai yang kusikat itu adalah wajah Jonah yang tak ingin kuakui sebenarnya sangat ganteng. Aaargh, kenapa masih bisa mikir kegantengannya segala sih. Kutahan keinginan untuk menggelengkan kepala kuat-kuat. Aku tak ingin terlihat sedang bergumul di sini.

Jonah masih menuntut jawaban. "Banyak? Bukannya kita baru ketemu beberapa hari ini."

Aku melemparkan tatapan sebal ke arahnya tapi tidak menjawab.

"Seingatku kamu yang cari gara-gara duluan, jadi aku menciummu," katanya sambil angkat bahu acuh tak acuh, lalu lanjut menggosok dinding.

"Dasar kurang ajar!" Aku mengarahkan sikat ke wajahnya namun berhasil ia elak dengan mencengkram pergelangan tanganku.

"Kamu jadi cewek kok kasar banget sih," kata Jonah sambil menatapku datar.

Kubalas tatapannya dengan garang. Saat mata kami bertemu, sekelabat ingatan yang coba kuredam selama beberapa hari ini tiba-tiba mengancam muncul ke permukaan. Segera kualihkan tatapanku dari wajahnya.

"Lepasin tanganku," pintaku, kali ini tidak segarang tadi.

"Awas kalau kamu bersikap kasar lagi. Aku enggak akan segan untuk menciummu." Kini ekspresi seriusnya berganti jail, membuatku muak. Manusia macam apa yang dengan pandainya berubah-ubah ekspresi begini dan semesum ini.

Aku mengabaikannya, lalu mulai menyiram lantai yang sekarang penuh dengan busa.

Ini adalah WC ketiga yang kami bersihkan, dua WC pertama kami bersihkan secara terpisah dan aku tidak harus berada dalam satu ruangan sempit yang sama dengan pemuda tengil itu. Sayangnya sekarang WC ini adalah WC terakhir, untuk menghemat waktu, kami harus membersihkannya bersama-bersama. Aku bisa saja ngacir, tapi aku tak ingin Bu Mul memergokiku dan berpikir bahwa aku tidak mengerjakan hukuman dan ia akan menambah hukumanku lagi karenanya.

Lihat selengkapnya