Setelah menaiki dua kali angkutan umum, akhirnya Adrian berhasil tiba di depan gerbang sekolah Aksara yang terlihat sangat sepi. Kebetulan memang saat ini sedang libur semester ganjil untuk seluruh siswa yang membuat sekolah di liburkan dan beberapa murid yang tinggal di Asrama juga memutuskan kembali ke Rumahnya masing-masing, makanya tak ada satupun manusia yang bisa kita jumpai disana selain pagar yang terkunci rapat dan Asrama yang masih kosong.
Sejenak ia menatap sekitar area depan gerbang sekolah, mencoba mencari cara untuk bisa masuk kedalam. Namun tak ada satupun celah masuk yang bisa digunakannya untuk memasuki area sekolah tersebut. Hingga akhirnya, ia memilih memanjati gerbang tersebut dengan penuh nekat. Lagian juga ia tak bisa memikirkan cara lain lagi, bila mengingat waktu di Jam tangannya terus berjalan cepat.
Untungnya saja Adrian berhasil memanjati gerbang sekolah dengan selamat tanpa sedikitpun cedera. Jadi, ia tak perlu lagi membuang waktu terlalu banyak. Lantas, tanpa banyak basa-basi dirinya langsung berlari mendekati area sekolah yang agak jauh dari gerbang depan.
Dengan langkah yang buru-buru dan keringat yang telah membasahi bajunya, ia sesekali mencuri pandang ke setiap lantai gedung dan keatas bangunan yang menjadi lokasi bunuh diri Aksara. Hingga ia berhasil menemukan bayangan Aksara yang sedang berlari menaiki tangga di lantai tiga. Tampaknya, Aksara ingin menuju atap gedung sekolah.
Entah darimana Aksara mendapatkan kunci dari pintu atap gedung, tapi yang jelas bukanlah saat yang tepat untuk Adria memikirkan hal tersebut. Sekali lagi, ia harus berlari lebih kencang untuk menyusul Aksara. Sesaat ia merasa seolah-olah tengah berlari sekencang-kencangnya untuk melewati ketiga Base demi bisa memperoleh angka di Home Plate. Dan rasanya, waktu yang terus berputar-putar di jam tangannya dan gerakan langkah kaki Aksara yang semakin menjauh dari hadapannya seolah mengingatkannya kembali pada para Pemain bertahan yang sedang mengincarnya.
"Aksara!" teriaknya yang terlihat sangat tegang, ia terus berlari menaiki tangga yang kemudian menghubungkannya ke atap gedung sekolah. Dan disana lah, ia bisa melihat posisi anaknya yang sudah berdiri di tepi atap gedung seraya menoleh kepadanya.
Sepertinya Aksara langsung menoleh kebelakang saat Adrian memanggil namanya tadi, tampak jelas wajah panik yang diperlihatkan Aksara sekaligus raut kebingungan karena tidak mengenal Adrian sama sekali.
Adrian berhenti tepat beberapa meter di hadapan Aksara, ia sendiri tak berhenti melangkah lebih dekat lagi yang bisa saja membuat anaknya itu melompat saat itu juga.
"Hentikan! Aku mohon bertindak bodoh seperti ini, kau pikir loncat dari gedung ini bisa menyelesaikan masalahmu. Justru, kau salah besar." Adrian terdengar seperti tengah membentak Aksara, ia tak bisa membohongi hatinya bahwa ia sedang merasakan perasaan takut yang amat besar. Bahkan, hal ini jauh lebih menakutkan daripada pertandingan Baseball melawan Tim terkuat.
Namun sepertinya, apa yang dikatakan oleh Adrian malah membuat Aksara menjadi marah. Jelas saja Aksara tidak senang dengan apa yang dikatakan Adrian, mana mungkin juga ia mendengarkan celotehan Adrian yang merupakan orang asing dan terlihat memiliki usia yang sama dengannya.
"Aku tidak mengenalmu dan kau tidak pantas menghakimiku dengan pendapatmu itu, kau sama sekali tidak tahu apa yang sedang ku alami!" bentak balik Aksara.
"Aku memang tidak tahu bagaimana perasaanmu sekarang, tapi bukan berarti kau harus mengakhiri hidupmu seperti ini. Memangnya kau tidak kasihan pada orang tuamu? Mereka pasti bakal hancur saat melihat anak satu-satunya mencoba mengakhiri hidupnya dengan tolol kayak yang ingin kau lakukan sekarang, kau pastinya tidak maukan mereka terus merasa bersalah karena kehilanganmu." Adrian mulai frustasi, ia seperti tengah mencurahkan semua yang dirasakannya selama ini dalam setiap kalimat yang baru saja diucapkannya pada Aksara.