"Kau tahu darimana tentang itu? Papa tidak mengatakan apapun sama sekali," ucap Aksara yang agak terkejut, saking kagetnya ia sampai berbalik badan dan mengurungkan niatnya buat pergi meninggalkan atap gedung sekolah.
"Kemarin ada diberita, kau tahulah aku ini supporter Adrian. Pasti apapun berita terbaru tentangnya, aku bakal tahu dong. Dan alasan kau tidak tahu, bisa saja ia belum sempat memberitahumu sampai detik ini." Adrian sekali lagi mampu memberikan alasan yang cukup meyakinkan bagi Aksara, walau sebenarnya ia merasa cukup aneh melihat tingkah Adrian.
"Lupakan soal darimana aku tahu berita ini, tapi yang jelas kurasa informasi yang kuberitahu barusan bisa memotivasimu buat bangkit lagi dong. Jadi, kau bisa mulai semuanya dari awal." Adrian tersenyum, ia pikir sarannya itu bisa memotivasi Aksara, apalagi ia mulai mengingat betul bahwa dirinya dipercaya oleh pelatih Timnas buat menjadi bintang tamu pada Pertandingan Baseball sekaligus punya suara mutlak dalam merekrut anggota baru di Timnas Junior muda yang akan dibentuk secara perdana dengan kisaran usia 17-20 Tahun.
"Perekrutan Klub saja aku gagal, apalagi mencoba bermimpi jadi anggota Timnas. Malahan nantinya aku membuat malu Papa," ketusnya seraya tertawa geli, ia sampai geleng-geleng kepala dan merasa sadar diri tentang kemampuannya saat ini. Sudah cukup baginya berpura-pura pada yang namanya harapan, sebab harapan hanyalah sebuah kesemuan yang berujung menjadi luka.
"Bagaimana kalau aku membantumu untuk bisa lolos dalam perekrutan Tim Junior itu?" tanya Adrian yang sudah bertekad bulat. Mana mungkin ia sanggup melihat Anaknya itu patah harapan seperti ini, sebab ia tahu bagaimana rasanya dipatahkan oleh Baseball yang selama ini dicintainya. Dia masih bisa ingat jelas, bagaimana keperduliannya pada Baseball malah menjauhkannya dari sang Anak. Dan satu-satunya jalan untuk mempersatukan hubungan Ayah-anak itu ialah membantu Aksara untuk bisa menjadi pemain Baseball yang hebat agar bermain satu battery dengan sang Ayah kelak, setidaknya itu keputusan yang lebih baik daripada meminta Aksara buat melupakan Baseball dan fokus pada pendidikan saja yang nantinya malah membunuh harapan Aksara untuk kali kedua.
"Tidak akan ada yang bisa membantuku sampai kapanpun, berhenti mempermainkanku dengan sikap optimismu itu. Lagian, kita juga bukan teman ataupun saudara. Gak perlu sok perduli ataupun akrab, " ketus Aksara yang sudah mulai muak pada semua yang dikatakan Adrian.
"Dan, kau juga harusnya berhenti omong besar. Bermain dalam timnas ataupun klub saja kau tidak pernah kulihat, bagaimana mungkin aku percaya dengan omonganmu. " Aksara seolah tengah mengejek Adrian, ia merasa muak dengan sikap Adrian yang mengingatkannya pada dirinya waktu dulu. Dimana saat itu, ia masih terlalu percaya diri bakal sehebat sang Ayah.
"Kau sama sekali tidak mempercayaiku rupanya, kalau begitu mari kita buktikan saja sekarang. Kau pasti akan tercengang melihat kemampuan menangkap ku, kau seorang Pitcher kan? Kalau begitu kebetulan sekali, aku adalah seorang Catcher yang mengidolakan Ayahmu dan aku sangat yakin telah memiliki kemampuan yang setara dengan Ayahmu." Adrian yang sudah mulai kesal dengan sikap anaknya yang meremehkannya, ia langsung menarik Aksara untuk mengikutinya. Dan sepertinya, Aksara juga terlihat cukup tertantang untuk melihat permainan dari orang asing yang memiliki omongan besar dihadapannya itu. Jadi, ia memutuskan untuk mengikuti Adrian saja dan meninggalkan Atap gedung sekolah yang seharusnya menjadi lokasi untuk mengakhiri hidupnya dua detik yang lalu.
Kebetulan saja di sekolah itu ada gedung olahraga baseball, ia ingat betul kalau saat ini Aksara masih bermain disana sebagai pemain cadangan selagi menunggu perekrutan anggota baru Klub Lions League yang menaungi Adrian.
"Jadi, dimana kita bisa meminjam perlengkapan Baseball disekolah ini?" tanya Adrian yang berjalan di depan Aksara, seraya menuruni tangga bersama.
"Kau tidak akan bisa menandingi Ayahku, berhenti berpikiran halu." Aksara merasa kepercayaan diri orang asing yang ada dihadapannya itu sudah berlebihan.