“Bapak memang gak terlalu ngerti sama Baseball, tapi Bapak rasa kamu pasti sadar betul kemampuan yang dimiliki Aksa. Kamu gak boleh mudah menyerah begini, bukannya kamu sendiri yang pernah bilang ke Bapak ya, kalau semua Picther itu terlahir unik dengan berbagai jenis lemparan khas yang mereka miliki.”
Adrian tertegun sejenak, ia mulai mengingat perkataan yang pernah dikatakannya kepada Bapak saat dirinya masih berusia 17 tahun kala itu.
“Bapak benar sekali. Ibu juga pernah dengar kalau alasan kamu menjadi Catcher itu, karena kamu pengen sekali menangkap semua jenis lemparan special yang dimiliki semua Picther. Dan kamu juga pengen memandu Para Picther untuk bisa memamerkan lemparan mereka di lapangan,” sambung Buk Santi.
Pak Bimo menepuk pelan bahu Adrian dengan senyuman hangat dari kedua sudut bibirnya yang semakin memperlihatkan pipinya yang mengendur dan keriput. Adrian bisa merasakan kehangatan yang diberikan Pak Bimo, pastinya ia sangat bersyukur bisa memiliki Ayah sehebat Pak dan Ibu sebaik Buk Santi yang selama ini selalu ada untuknya.
“Terimakasih sudah mengingatkanku Kembali, Pak, Buk. Aku juga sangat yakin sekarang kalau anakku pastilah mempunyai kemampuan yang baik. Dan pastinya sudah tugasku menemukannya. Jadi, aku rasa sekarang aku harus balik fokus lagi untuk memikirkannya.”
Pak Bimo langsung berdiri dari kursinya setelah mendengarkan Adrian yang sudah baikan, ia mengambil buku tulis berisi 30 lembar dan sebuah pena dari Rak yang ada di dekat Meja makan dan memberikannya pada Adrian.
“Pakai ini aja buat coret-coretan kamu, kebetulan bukunya udah gak bapak gunakan lagi sih. Soalnya Piala Dunia juga sudah selesai beberapa bulan yang lalu dan Bapak lagi gak taruhan bareng teman sejawat Bapak. Jadi, kamu bisa pakai sisa halaman yang masih kosong.”
“Makasih, Pak.” Adrian tersenyum pada Ayahnya itu. Meskipun sang Ayah lebih memahami dan menyukai olahraga Bola dibandingkan Baseball, tapi Pak Bimo tidak pernah sedikitpun melewatkan pertandingan Baseball anaknya untuk ditonton.
“Kalau begitu, Ibu juga bakal buatin Pisang Goreng dan Kopi buatmu ya. Biar anak Ibu bisa konsentrasi berpikirnya.” Buk Santi menarik tangan Pak Bimo, “Bapak bantuin Ibu di dapur yuk, biar Adrian lebih fokus sendirian disini.”
Pak Bimo hanya menurut dan menemani istrinya memasak goreng Pisang di Dapu yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Meja Makan, tapi sedikit memberikan kebebasan dan ketenangan untuk Adrian bisa fokus. Biasanya sih Adrian menghabiskan waktu sendirian di ruang kerjanya setiap pulang dari Latihan, bahkan istrinya saja tak punya kesempatan untuk mengganggunya sama sekali. Namun, berhubung ia sedang tidak berada di rumahnya sendiri, Jadi ia harus terbiasa membiasakan hidup seperti dirinya dahulu.
Dan dengan segala memori ingatan yang masih jelas, ia Kembali menganalisa kemampuan lemparan Aksara. Bolak-balik dirinya mencoret lembar kertas buku itu, mencoba menduga-duga setiap kemungkinan yang ada atau paling tidak mendekati saja untuk membantunya.
“Sejauh ini hanya lemparan lurusnya yang baik, bahkan ia memiliki kecepatan yang menjadi kemampuan spesialnya. “ Adrian bergumam sendiri sambal meletakkan dagunya ditangan kiri.
Hingga Adrian tersadar akan sesuatu hal yang baru muncul dalam pikirannya, “Tunggu dulu! Bagaimana kalau kita menjadikan lemparan lurus itu sebagai kemampuan spesialnya?” gumamnya lagi yang langsung membuat poin penting dilembar buku.